Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kelas Menengah Terjepit, Benarkah Ini Ancaman Serius Ekonomi Indonesia?

16 September 2024   09:25 Diperbarui: 16 September 2024   09:34 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Emas bisa terwujud jika kelas menengah sejahtera.|Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO(PRI)

"Kelas menengah adalah pilar ekonomi bangsa. Saat mereka terpuruk, bukan hanya ekonomi yang goyah, tapi mimpi kita akan Indonesia Emas juga terancam."

Ungkapan di berbagai media sosial tentang Indonesia Cemas, dalam perspektif manajemen risiko, perlu disikapi dengan hati-hati. Ungkapan, guyonan atau pun kekesalan itu bisa dilihat sebagai ungkapan kekhawatiran, dan refleksi sosial. Namun juga bisa dianggap sebagai kenyataan pahit dan satire.

Tak bisa dipungkiri, dalam perjalanan Indonesia menuju visi Indonesia Emas pada 2045, kita dihadapkan pada sebuah kenyataan yang perlu segera diatasi: nasib kelas menengah. Ketika kelas menengah - yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian - mulai menunjukkan tanda-tanda kesulitan, mimpi besar kita bisa berubah menjadi mimpi buruk. Jika kecemasan kelas menengah tidak ditangani dengan serius, Indonesia yang seharusnya bersinar terang pada 2045, malah bisa menjadi Indonesia yang terjebak dalam kecemasan dan ketidakpastian.

Mengapa Kelas Menengah Begitu Penting?

Kelas menengah adalah motor penggerak ekonomi. Mereka bukan hanya sekadar konsumen yang mendongkrak daya beli, tetapi juga aktor penting dalam menciptakan stabilitas sosial. Ketika kelas menengah sehat secara finansial, mereka berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi dan investasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019, kelas menengah menyumbang 43,3% terhadap konsumsi rumah tangga, sebuah pilar penting yang menopang lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, lima tahun kemudian, kontribusi mereka menurun drastis.

Data terkini menunjukkan bahwa kelas menengah menyusut, baik dari segi jumlah maupun kontribusi terhadap perekonomian. Banyak kaum menengah sekarang jadi driver ojol, juga tak sedikit yang dagang makanan.

Pada 2024, hanya tersisa 47,8 juta orang yang masuk dalam kategori kelas menengah, dengan kontribusi 36% terhadap konsumsi rumah tangga. Jika tren ini dibiarkan tanpa intervensi yang tepat, kelas menengah bisa semakin terpuruk, mengancam stabilitas ekonomi yang kita bangun bersama.

Ketimpangan: Orang Kaya Makin Kaya, Kelas Menengah Terjepit

Salah satu isu mendesak yang perlu ditangani adalah ketimpangan ekonomi yang kian melebar. Berdasarkan data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), tabungan masyarakat dengan nilai kurang dari Rp100 juta terus menurun, sementara tabungan di atas Rp 5 miliar justru melonjak tajam. Kondisi ini memperlihatkan ketidakmerataan kekayaan yang semakin tajam: yang kaya makin kaya, yang miskin makin terpuruk. Sementara kelas menengah berada di tengah, terjepit di antara keduanya.

Kelas menengah saat ini berada dalam kondisi serba salah. Penghasilan mereka cukup untuk hidup, tetapi tidak cukup untuk mengakses berbagai program bantuan pemerintah. Di sisi lain, berbagai kebijakan baru seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 dan potongan untuk iuran Tapera yang mulai berlaku pada 2027, justru menambah beban mereka. Bahkan, wacana kewajiban asuransi kendaraan pihak ketiga dan pengetatan subsidi BBM semakin menambah daftar panjang tekanan finansial yang mereka hadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun