hukum tegak di satu negeri, anak presiden pun tak kebal. Tapi di negeri lain, kekuasaan jadi payung - hukum hanya sebatas tetesan hujan yang dilihat dari jauh. Jadi, kita ingin jadi bangsa yang memayungi keadilan atau yang selalu berteduh dari tanggung jawab?"
"KetikaDi sebuah negeri jauh di seberang sana, ada seorang presiden adi daya yang hidup di tengah sistem demokrasi yang sangat rapi. Tugas presiden di negeri itu memang seperti seorang sutradara - dia mengarahkan jalan cerita bangsa, tapi tak punya kuasa untuk menulis naskah hukum sesuka hatinya.
Ironisnya, di sebuah kerajaan yang ditangisi ibu pertiwinya, beberapa pemimpin lebih mirip aktor utama dalam film Hollywood, naskah bisa mereka ubah kapan saja. Mau drama, komedi, atau thriller, semua terserah mereka. Bahkan kalau perlu, mereka bisa jadi penulis skenario sekaligus sutradara!
Di negeri adi daya, hukum itu seperti hujan. Kalau hujan turun, semua kebasahan, tak peduli apakah kamu presiden, pejabat, atau rakyat biasa. Hujannya adil, merata. Tapi di kerajaan? Hujan bagi rakyatnya lebih seperti payung eksklusif. Payungnya hanya dipakai oleh orang-orang penting yang duduk di kursi empuk, sementara rakyat di luar gedung kehujanan sambil nyanyi, "Hujan turun, rakyat tertekan."
Suatu hari, presiden adi daya ini, sebut saja namanya Super, harus berhadapan dengan kenyataan bahwa anaknya, Ganteng, harus masuk ke pengadilan. Bahkan bagi presiden, hukum di sana tak mengenal istilah "kamu anak siapa." Kalau bersalah, ya masuk pengadilan. Di kerajaan? Hukumnya lebih seperti acara reuni keluarga besar. Kakak, adik, menantu, bahkan paman bisa ikut andil mengurus negara. Bukan jadi tamu, tapi jadi pejabat!
Di sana, anak presiden masuk pengadilan. Di sini? Anak raja dan menantunya justru masuk kantor pemerintahan. Sama-sama masuk, tapi yang satu masuk ruang sidang, yang lain masuk ruang kerja pemerintahan. Memang beda nasib anak di negeri demokrasi dan kerajaan.
Tentu kita harus bertanya, apakah hukum di sini lebih mirip peta harta karun, yang hanya ditemukan oleh mereka yang punya kuasa? Kalau iya, di mana ya peta untuk keadilan bagi rakyat? Atau mungkin peta keadilan itu disembunyikan di balik lemari besi di istana kerajaan?
Jika hukum benar-benar tegak untuk semua, kenapa ya, yang kecil sering kali dihukum berat, sementara yang besar hanya ditegur lembut. Seperti habis ketahuan jarang ngantor, atau kedapatan tengah mabuk? "Aduh, jangan ulangi lagi ya, Pak Menteri..."
Lalu kita lihat di sana, anak presiden harus menghadapi pengadilan. Di kerajaan ini, anak raja mungkin lebih cocok jadi tamu kehormatan di pengadilan. "Bapak mau teh atau kopi, sambil menunggu putusan? Pulangnya naik jet pribadi, ya Pak?"
Di negeri adi daya juga, anak presiden bisa terseret hukum. Di kerajaan, mungkin hukumnya yang diseret untuk mengikuti kemauan anak presiden. Seperti menarik benang dari gulungan yang sudah rapi, hukum bisa dipelintir sampai ke mana-mana.
Saat presiden adi daya memutuskan untuk tidak ikut campur dalam kasus anaknya, dunia melihatnya sebagai langkah berkelas. Tapi di kerajaan? Ah, rakyatnya sudah tahu apa yang terjadi. Lobi-lobi halus, surat-surat ajaib, dan tentu saja, rapat keluarga di meja makan bisa menyelesaikan banyak masalah tanpa perlu ada hakim yang terlibat.