"Di dunia di mana kekayaan adalah kekuatan, siapa yang perlu mengikuti aturan?" timpal rakyat jelata lainnya.
Seiring berjalannya waktu, kesenjangan antara si kaya dan si miskin di negeri itu semakin lebar. "Di zaman sekarang, bukan tentang siapa yang Anda kenal, tetapi pesawat pribadi siapa yang Anda tumpangi. Dan semakin tinggi Anda terbang, semakin sedikit Anda perlu khawatir tentang turbulensi," ujar seorang pedagang kaya.
"Mereka bilang uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi uang pasti bisa membeli kursi dan gengsi naik pesawat mewah pribadi untuk menyaksikan masalah-masalah dunia dan negara di langit yang tinggi, ribuan kaki dari bumi," timpal pedagang lainnya.
Pesawat-pesawat mewah itu pun semakin canggih. "Mereka menyebutnya Gulfstream, tapi sebenarnya lebih seperti Gulfstream of consciousness. Aliran bebas kekayaan dan hak istimewa," kata seorang insinyur pesawat.
"Satu-satunya hal yang lebih cepat dari Gulfstream adalah kecepatan beberapa orang melupakan janji mereka," timpal insinyur lainnya sambil tertawa.
"Mungkin kemewahan sebenarnya bukan pesawat jet itu sendiri, tapi fakta bahwa mereka mampu membayar jejak karbonnya," kata seorang ilmuwan lingkungan.
Melihat situasi ini, beberapa rakyat jelata mulai merasa tidak puas. "Mungkin kita semua harus memulai GoFundMe untuk membeli pesawat pribadi kita sendiri. Lagipula, mengapa mereka harus bersenang-senang sendirian?" ujar seorang rakyat jelata dengan nada sarkasme.
Demikianlah kisah dari negeri di atas awan. Sebuah negeri di mana kekayaan dan kekuasaan seolah tanpa batas. Namun, di balik semua kemewahan itu, tersimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keadilan, kesetaraan, dan makna hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H