"Kemewahan itu sementara, tapi kebaikan yang kita sebar akan abadi. Jadi, jangan lupa menebar kebaikan meskipun kita punya pesawat pribadi."
Di sebuah negeri di atas awan, di mana hukum gravitasi seolah tak berlaku, hiduplah para penghuninya dengan sangat nyaman. Mereka memiliki istana-istana mengambang yang terbuat dari kapas gula, taman-taman yang selalu berbunga, dan kendaraan pribadi yang bisa terbang bebas.
Di negeri ini, ada sebuah aturan tidak tertulis: "Semakin tinggi kau terbang, semakin bebas kau dari aturan. Aturan hanya berlaku di daratan dan di lautan, di negeri awan adalah negeri kebebasan." Makanya, tak heran jika banyak penghuni negeri ini memiliki pesawat pribadi. Bukan sembarang pesawat, melainkan pesawat-pesawat mewah yang dilengkapi segala fasilitas.
"Katanya pesawat pribadi hanyalah alat transportasi, tapi bukankah itu juga sebuah pernyataan? Sebuah pernyataan tentang jurang pemisah antara mereka yang terbang tinggi dan mereka yang hanya bermimpi terbang," kata si Raja Awan yang memiliki koleksi pesawat pribadi paling lengkap.
"Mungkin kemewahan sebenarnya bukan memiliki pesawat pribadi, tapi keistimewaan tidak perlu khawatir tentang harganya. Itu semacam kebebasan, bukan? Kebebasan dari konsekuensi," timpal Ratu Awan sambil menyesap teh dari cangkir emasnya.
Para bangsawan di negeri itu pun berlomba-lomba memiliki pesawat pribadi. Mereka beranggapan bahwa pesawat pribadi adalah simbol status sosial yang tinggi. "Ada yang mewarisi tanah, ada yang mewarisi gelar, dan segelintir orang mewarisi langit. Sepertinya aturan warisan telah berkembang cukup dramatis," ujar seorang bangsawan muda sambil mengelus pesawat pribadinya yang baru.
"Di dunia yang penuh dengan orang kaya dan pemilik kapal pesiar, pesawat pribadi hanyalah satu langkah kecil naik tangga. Atau turun, tergantung sudut pandangmu," timpal bangsawan lainnya sambil tertawa.
Namun, di balik kemewahan dan kebebasan itu, ada sebuah pertanyaan besar yang terus menghantui mereka. "Apakah itu benar-benar 'gratifikasi' jika Anda sudah puas dengan posisi Anda? Atau itu hanya tambahan keuntungan?" tanya seorang filsuf awan.
"Kapan sebuah fasilitas menjadi hak istimewa, dan kapan hak istimewa menjadi hak? Dan siapa yang berhak memutuskan?" sahut filsuf lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin rumit ketika mereka menyadari bahwa aturan di negeri mereka tidak berlaku sama untuk semua orang. "Jika aturan tidak berlaku untuk Anda, apakah aturan itu benar-benar ada?" tanya seorang rakyat jelata yang iri melihat kemewahan para bangsawan.