Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Dewan Pakar atau Dewan Pemanis?

27 Agustus 2024   11:19 Diperbarui: 27 Agustus 2024   11:23 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ketika para ahli lebih mirip dekorasi politik dan tidak lagi dihargai, saat itulah kita harus bertanya: apakah kita mencari solusi nyata atau sekadar memainkan kursi? Jadilah bagian dari perubahan, bukan hanya penonton dalam drama politik."

Di sebuah negeri antah berantah, ada satu lembaga yang dikenal dengan nama Dewan Pakar. Nama mereka terdengar keren, tapi entah kenapa peran mereka makin lama makin mirip dengan Dewan Pemanis. Ya, mereka duduk diam, manis, tapi sayangnya tak lagi memberikan rasa yang berarti. Mungkin mirip dengan gula palsu yang kelihatan manis, tapi bikin minuman tetap hambar.

Suatu hari, ada yang mengusulkan ide brilian. "Hei, jika para ahli ini tak lagi dianggap ahli, kenapa kita tidak undang pelawak saja untuk mengajar tentang keseriusan?". Katanya sambil terkekeh. Semua yang mendengar langsung tertawa, membayangkan Dewan Pakar digantikan oleh stand-up comedian. Tapi tunggu, itu ide yang buruk atau justru ide jenius?

Tapi kenyataannya, Dewan Pakar ini sudah seperti obat kadaluarsa, disimpan saja di laci, tapi tak pernah dipakai. Walaupun tidak dipakai, tetap saja mereka disebut ahli. Ibarat kata, ini seperti punya Wi-Fi gratis di tempat umum: ada, tapi sinyalnya nggak nyampe! Yang penting ada!

Tiba-tiba, ada seorang pengamat seni yang nyeletuk, "Kalau Dewan Pakar cuma jadi dekorasi, kenapa tidak kita kirim saja mereka ke pameran seni? Setidaknya di sana, orang tahu cara menghargai seni." Semua orang kembali tertawa. Tapi ini bukan sekadar lelucon, mungkin ada benarnya juga. Dewan Pakar ini sudah jadi lebih mirip patung di galeri ketimbang penentu kebijakan.

Lalu muncul ide lain, lebih gila lagi, "Jika Dewan Pakar tak lagi didengar, kenapa tidak kita sekalian undang selebritas untuk memberi saran tentang kebijakan negara?". Sontak ruangan jadi riuh. Bayangkan saja, bintang film mengajarkan cara mengelola ekonomi atau penyanyi pop membahas strategi diplomasi internasional. Lucu? Atau justru mengkhawatirkan?

Kepala dewan yang duduk di pojok ruangan akhirnya angkat bicara, "Jika pakar tak lagi dipekerjakan sebagai pakar, apakah kita benar-benar mencari solusi atau hanya mengisi kursi?". Ia menghela napas panjang. Semua terdiam sejenak, merenungi pertanyaan itu. Mungkin memang benar, mereka hanya sedang bermain kursi-kursian di sini.

Suasana yang tadinya serius mendadak jadi kocak lagi. "Ketika Dewan Pakar hanya jadi latar belakang politik, jangan heran kalau nanti kita punya Dewan Komedi yang lebih ahli dalam berkelakar," seorang anggota yang lain berkomentar sambil tertawa lepas. Bayangkan saja jika benar terjadi, Dewan Komedi dengan ketua stand-up comedian, yang punya rapat terbuka setiap malam Jumat. Setidaknya bakal lebih menghibur daripada drama yang biasanya terjadi.

Tapi sebenarnya, mungkin Dewan Pakar ini sebenarnya bagian dari reality show politik. Kita cuma belum tahu siapa host-nya. Ya, ini semua mungkin cuma permainan reality show, di mana kita semua menjadi penontonnya.

Di akhir cerita, ada satu anggota yang bergumam, "Di negeri ini, ketika Dewan Pakar berbicara, yang mendengar cuma cermin di ruang rapat. Setidaknya, ada yang mendengarkan, kan?". Semua orang tertawa terbahak-bahak, sadar betapa lucunya kenyataan yang mereka hadapi.

Begitulah cerita humor Dewan Pakar yang tak lagi menjadi pakar. Mungkin kelak mereka akan menemukan kembali makna dan peran mereka. Tapi sampai saat itu tiba, kita semua hanya bisa tertawa dan berharap... atau mungkin, seperti cermin, hanya mendengarkan pantulan suara mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun