"Ketika pemimpin tak lagi mendengar nurani rakyat, maka saat itulah kita harus bangkit dan merebut kembali martabat sebagai bangsa yang besar."
Bangsa ini, bangsa yang kita cintai, telah terlalu lama terluka dan menderita. Sejarah mencatat begitu banyak penderitaan yang dialami oleh rakyat akibat kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Juga akibat dari perilaku penguasa yang acuh, serta hilangnya makna dari sebuah demokrasi yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam kehidupan bernegara.
Kini, suara publik seakan tak dimaknai apa-apa, konstitusi negara dipermainkan seenaknya, dan kebebasan berpendapat ditekan sedemikian rupa hingga yang tersisa hanyalah jerit frustasi.
Ketika suara publik tak dimaknai apa-apa, unjuk rasa dan demonstrasi merebak ke mana-mana. Masyarakat ingin menunjukkan kekesalan, kekecewaan, dan rasa marah mereka. Kekesalan ini adalah manifestasi dari sebuah kesadaran kolektif bahwa ada sesuatu yang salah, bahwa ada moralitas dan etika yang telah dilanggar oleh mereka yang seharusnya menjaga martabat bangsa. Para penguasa, dengan segala kecerdikannya, mengutak-atik persepsi publik dan peraturan demi memenuhi syahwat kekuasaan mereka.Â
Tidaklah mengherankan ketika sebagian kalangan mulai mempertanyakan, apakah para wakil rakyat benar-benar memahami makna dari ketatanegaraan yang sejati?
Krisis Moralitas dan Pengkhianatan Terhadap Konstitusi
Ketika kita menyaksikan gejolak masif penolakan revisi UU Pilkada di berbagai daerah, kita harus bertanya, apa yang sebenarnya dipertaruhkan di sini? Para anggota DPR, yang seharusnya menjadi penjaga amanah rakyat, tampak tidak mendengarkan nurani mereka sendiri.
Lebih dari itu, tindakan mereka mencerminkan pembangkangan yang arogan dan vulgar terhadap konstitusi. Di mata rakyat, ini adalah pengkhianatan terhadap dasar negara yang seharusnya dijaga dengan sepenuh hati. Konstitusi yang ditebang dan dilecehkan hanya akan memicu kemarahan rakyat yang semakin mendalam.
Politik keculasan yang kini tampak sebagai "media dagangan suara" menjadi realitas pahit yang harus kita hadapi. Kartel politik yang memainkan kekuasaan dengan cara yang curang telah menciptakan suasana ketidakpastian hukum. Kalangan akademisi dan praktisi hukum tata negara bahkan menyatakan bahwa Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat konstitusi dan demokrasi. Betapa ironisnya, ketika kita mengklaim sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, namun justru menghadapi krisis konstitusi yang begitu mendalam.
Mempertanyakan Keberanian dan Nurani Pemimpin
Mereka yang duduk di parlemen seharusnya memahami bahwa mereka adalah representasi dari suara rakyat. Namun, ketika mereka tidak tunduk pada putusan Mahkamah Konstitusi, ketika mereka memilih untuk menjalankan "dualisme hukum", maka mereka tidak lagi menjadi wakil rakyat, melainkan menjadi wakil dari kepentingan mereka sendiri. Para demonstran yang melakukan aksi tolak RUU Pilkada bukanlah tanpa alasan; mereka hadir untuk melawan kerakusan penguasa yang semakin terlihat terang-terangan dalam mempertontonkan ambisi mereka.
Apakah ini yang kita inginkan? Sebuah negara yang dikendalikan oleh ambisi dinasti kekuasaan? Sebuah negara di mana "raja jawa" menjadi penguasa mutlak tanpa memperhatikan suara rakyat? Kita harus berani bertanya, apakah ini yang diinginkan oleh para pendiri bangsa kita? Apakah ini yang diperjuangkan oleh para pahlawan kita yang telah gugur demi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat?