Pemilihan umum untuk Presiden RI tahun 2024 sudah dilalui. Ada banyak catatan dan kelemahan yang melekat pada memori kolektif masyarakat terkait proses dan kegaduhan pemilihan presiden ini.Â
Namun, belum juga surut kegundahan masyarakat atas beragam kontroversi di pilpres kemarin mereda sepenuhnya, kini timbul lagi kontroversi baru.
Dalam beberapa hari terakhir, kita menyaksikan gelombang kontroversi seputar revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang mencerminkan pembangkangan konstitusi yang berpotensi menggoyahkan ketahanan demokrasi Indonesia.Â
Kasus ini bukan hanya menjadi sorotan media, tetapi juga mengundang perhatian luas di kalangan tokoh masyarakat dan netizen, yang dengan tegas menyuarakan kekhawatiran mereka melalui berbagai platform.
Pelanggaran Konstitusi di Balik Revisi UU Pilkada
Pembangkangan konstitusi yang dimaksud tampaknya terlihat jelas dari upaya Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang hendak merevisi UU Pilkada. Revisi ini dianggap sebagai upaya untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan syarat usia calon.
Pada 20 Agustus 2024, MK memutuskan bahwa syarat calon kepala daerah harus berusia minimal 30 tahun saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta menurunkan ambang batas dukungan partai politik yang diperlukan untuk mencalonkan kepala daerah.
Namun, Baleg berupaya mengabaikan keputusan tersebut dengan mengajukan revisi yang berpotensi mengubah batas usia dan ambang batas pencalonan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang lebih tua. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa revisi ini merupakan langkah untuk mempertahankan kepentingan politik tertentu. Sekaligus juga merongrong keputusan MK yang seharusnya menjadi pedoman konstitusi.
Peringatan Darurat dan Mobilisasi Publik
Tidak hanya menjadi perdebatan hukum, revisi ini juga telah memicu gelombang respons publik. Tagar "Peringatan Darurat" dan "#KawalPutusanMK" menguasai media sosial, menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap potensi ancaman terhadap konstitusi.Â
Tokoh masyarakat, aktivis 98, akademisi, dan musisi terkemuka, turut menyuarakan kekhawatiran mereka melalui platform sosial, mengingatkan kita semua akan pentingnya mematuhi keputusan MK untuk menjaga keadilan dan integritas sistem demokrasi.
Koalisi Akademisi bahkan mengancam pembangkangan sipil memboikot pilkada jika RUU itu tetap dibahas serta mengabaikan keputusan MK.