Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Gemerlap Ibukota, Derita di Pulau Tersisih

18 Agustus 2024   14:16 Diperbarui: 18 Agustus 2024   14:32 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika ibukota dibangun dengan megah, kami bangun rumah di pulau-pulau kecil dengan air mata. | Foto: Kompas/AGUS SUSANTO.

Di tengah gemerlap ibukota,  
tercermin ambisi yang menelan langit,  
gedung-gedung raksasa merobek cakrawala, seakan berbisik tentang mimpi-mimpi yang mahal.  

Namun, di seberang lautan yang sama,  
di pulau-pulau kecil yang terhampar,  
air mata mengalir deras,  
membasahi tanah yang sepi dan lusuh,  
tempat kemiskinan bertahta tanpa singgasana.  

Istana megah berdiri angkuh,  
di atas hamparan harapan yang merapuh,  
sementara di sini,  
di tempat yang jauh dari sorotan kamera,  
rumah-rumah reyot berpegang teguh,  
melawan angin kehidupan yang terus merundung.  

Ibukota, engkau seperti kue ulang tahun,  
indah dipandang namun jauh dari rasa,  
sementara kami,  
hanya mengais remahan yang jatuh,  
di antara reruntuhan mimpi yang patah.  

Apa jadinya jika gedung-gedung pencakar langit,  
bisa merasakan perihnya kemiskinan,  
yang mengintip dari sela-sela jendela kaca?  
Mungkin mereka akan menangis,  
seperti pulau-pulau yang terpaksa diam,  
di bawah bayangan megahmu yang tak tersentuh.  

Sementara engkau terus membangun,  
merajut kemewahan dalam tiap lantai,  
kami di sini, di tepian yang jauh,  
berjuang dalam kesunyian yang kelam,  
tanpa sinyal WiFi,  
tanpa kemewahan yang hanya sebatas mimpi.  
Kemegahanmu, wahai ibukota,  
bukanlah cermin dari kebahagiaan,  
namun hanya bayangan dari ketimpangan,  
yang terus merentang,  
seperti jurang Weber Kepulauan Banda ,  
menganga di antara kita yang berbeda.  

Mungkin saja, kau ingin cepat-cepat pindah, ke planet lain yang lebih layak,  
meninggalkan kami di sini,  
bermain dengan istana pasir yang rapuh,  
menunggu ombak kehidupan menerjang,  
menghancurkan sisa-sisa harapan.  

Dan di akhir cerita ini,  
yang tersisa hanya air mata,  
di pulau-pulau kecil yang tak terjamah,  
menatap megahmu dari kejauhan,  
merasa asing di tanah yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun