7. "Jadi penulis itu kayak nge-vlog, cuma yang direkam itu pikiran. Bedanya? Kalau nge-vlog bisa viral, kalau nulis bisa viral di hati para pembaca yang enggak punya akun TikTok."
8. "Zaman now, jadi penulis itu harus punya banyak akun media sosial. Bukan lagi ngebangun dunia, tapi ngebangun followers."
9. "Penulis itu kayak pahlawan super yang punya kekuatan kata-kata, tapi kelemahannya adalah harga buku yang selangit dan royalti yang seujung kuku."
10. "Kalau jadi penulis sukses itu kayak menang lotre, cuma hadiahnya bukan uang tapi insomnia akut dan kerutan di wajah karena terlalu banyak mikir."
Tiga Minggu Kemudian.....
Tiga minggu kemudian, para penulis kembali berkumpul. Suasana tegang menyelimuti ruangan. Satu per satu nama dipanggil, diikuti dengan pengumuman level paket bantuan yang akan mereka terima.
Ternyata, paket bantuan terbesar justru diberikan kepada penulis yang kutipannya paling 'netral' dan 'aman'. Penulis yang berani mengkritik sistem justru mendapatkan paket terkecil.
Ternyata, algoritma tersebut telah 'dilatih' untuk mencari kata-kata kunci tertentu yang dianggap 'positif' dan 'produktif'. Kutipan-kutipan yang terlalu kritis atau menyindir sistem justru dianggap 'negatif' dan 'mengganggu'.
Salah seorang penulis, dengan nada getir, berkata, "Jadi, selama ini kita bukan lagi manusia yang menciptakan karya, tapi data yang diolah oleh mesin. Kreativitas kita diukur dengan algoritma, dan nilai kita ditentukan oleh pasar."
Sejak saat itu, para penulis mulai menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya melawan rintangan eksternal seperti pasar dan industri penerbitan, tetapi juga melawan sistem yang berusaha mengukur dan mengendalikan kreativitas mereka. Mereka mulai membangun jaringan solidaritas yang lebih kuat, berbagi karya secara bebas di luar platform-platform komersial, dan terus berjuang untuk mempertahankan otonomi mereka sebagai seorang penulis.
Penulis Merdeka