"Tulisan adalah warisan abadi yang melampaui batas usia. Dengan menulis, kita menanam benih kebaikan yang akan terus tumbuh dan berbuah meski raga telah tiada." ~ @agungmsg
Di tengah hiruk-pikuk dan kesibukan kehidupan duniawi yang fana, manusia seringkali lupa akan hakikat keberadaannya. Dalam Islam, setiap muslim yang sadar akan akhirat pasti berharap memiliki bekal yang cukup untuk perjalanan panjang menuju keabadian.
Hanya saja, usia manusia terbatas; amal perbuatan yang dapat dilakukannya pun terbatas oleh usia itu. Ketika kematian menjemput, seluruh amal manusia terputus, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh.
Namun, terdapat sebuah rahmat yang dianugerahkan oleh Allah SWT yang membuka peluang bagi manusia untuk terus mengalirkan pahala bahkan setelah jasadnya terkubur di dalam tanah. Inilah yang disebut sebagai "umur kedua".
Salah satu cara untuk meraih umur kedua tersebut adalah melalui menulis. Menulis sesuatu yang bermanfaat bagi keluarga, sesama, dan umat di seluruh dunia, merupakan wujud nyata dari sedekah jariyah yang tak pernah putus.
Hakekat Umur Kedua
Dalam Islam, konsep umur kedua sangat erat kaitannya dengan amal jariyah. Rasulullah SAW bersabda, "Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya" (HR. Muslim).
Menulis merupakan salah satu bentuk ilmu yang bermanfaat, yang dapat terus mengalirkan pahala kepada penulisnya selama tulisan tersebut dibaca, dipahami, dan diamalkan.
Menulis bukan sekadar mencurahkan pikiran ke dalam kata-kata, tetapi merupakan upaya merangkai ilmu dan hikmah yang dapat menjadi petunjuk bagi orang lain.
Seorang ulama besar, Al-Ghazali, dalam karyanya "Ihya' Ulumuddin" menekankan pentingnya ilmu yang tercatat dalam bentuk tulisan sebagai warisan yang abadi. Ilmu yang tertulis mampu menembus batas waktu, menembus batas generasi, dan terus menjadi sumber cahaya bagi mereka yang mencarinya.