"Demokrasi seharusnya memuliakan, bukan merenggut nyawa. Pemilu harus menjadi panggung kejayaan, bukan ladang pembantaian."
Di sebuah negeri yang penuh dengan cinta keadilan dan semangat demokrasi, terdengarlah ratapan pilu dari tanah air yang kita cintai. Ibu pertiwi pun pilu bersusah hati. Kisah pemilu yang seharusnya menjadi puncak kejayaan rakyat, malah berubah menjadi ajang pembantaian. Menelan korban dalam bentuk nyawa para pejuang demokrasi, para pahlawan di balik layar, para petugas KPPS.
Dalam deretan angka yang memilukan, kita melihat bahwa kesejahteraan para petugas KPPS tidak sebanding dengan beratnya beban yang mereka pikul. Kematian dan penyakit menjadi bayaran tragis atas dedikasi mereka dalam menjaga demokrasi. Risiko itu, sayangnya, tak sebanding dengan penghargaan yang mereka terima. Honor sejuta rupiah hingga 1,2 juta rupiah seolah menjadi angka yang ringan untuk sebuah nyawa yang hilang.
Sebuah pertanyaan menghantui pikiran: apakah sebuah pemilu yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat harus menjadi ladang pembantaian? Pemilu, yang seharusnya menjadi ungkapan kehendak rakyat, kini menjadi ajang perhitungan yang mahal. Bukan hanya dalam segi finansial, tetapi juga nyawa.
Meski anggaran pemilu terus meningkat, tampaknya pemilu masih rumit dan melelahkan. Apakah anggaran sebesar Rp71,3 triliun untuk Pemilu 2024 tidak cukup untuk menciptakan pemilu yang sederhana, adil, dan efisien? Pertanyaan ini menggema di antara kesedihan atas nyawa yang hilang.
Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang seharusnya menjadi garda terdepan demokrasi, tampaknya belum belajar maksimal dari pengalaman pemilu sebelumnya. Kendala teknis terus muncul, dari kurangnya surat suara hingga sistem informasi yang kerap tidak berfungsi dengan baik. Pemilu butuh evaluasi total. Bukan hanya dari segi anggaran, tetapi juga dari segi teknis dan manajemen. Juga integritas jajaran para pimpinan di dalamnya.
Sistem pemilu kita perlu direvisi agar tidak lagi menjadi ladang pembantaian. Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilihan Umum harus segera direvisi untuk mendesain ulang model pemilu kita. Mungkin sudah saatnya memikirkan opsi-opsi baru, seperti memisahkan pemilu legislatif daerah dengan pemilu nasional. Atau, memanfaatkan teknologi canggih untuk mempermudah pelaksanaan pemilu.
Kita, sebagai anak bangsa, bukanlah bangsa keledai yang terus jatuh di lubang yang sama. Mari bersama-sama menggugah kesadaran para pemimpin kita, para wakil rakyat terpilih, untuk merenung dan mencari solusi terbaik. Kita memiliki potensi dan kebijaksanaan untuk menciptakan pemilu yang bermartabat, adil, dan efisien. Tanpa harus mengorbankan nyawa para pejuang demokrasi. Itulah bentuk nyata cinta kita pada keadilan dan kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H