"Bila adab di atas ilmu, dan integritas di atas segalanya, maka kematangan sikap, adalah kunci menuju kepemimpinan yang sejati."
Saat kita merenung tentang masa depan bangsa ini, penting bagi kita untuk menggali makna sejati dari kematangan sikap yang harus dimiliki oleh calon pemimpin. Kematangan sikap bukan sekadar kata-kata, melainkan pondasi kuat yang membangun kepemimpinan yang beretika dan berkeadilan. Artikel ini akan menjelajahi esensi dari sikap dan etika dalam kepemimpinan, menggali nilai-nilai seperti integritas, empati, kecerdasan emosional, dan kecakapan komunikasi yang menjadi pilar utama kematangan sikap.
Dalam beberapa kesempatan, saya punya kegelisahan yang berulang. Ceritanya sederhana. Sebagai seorang warga negara yang merindukan sosok bangsawan di negeri tercinta ini, juga yang merindukan lahirnya negarawan yang penuh cinta pada rakyat dan tanah air, serta pemerhati psikologi kepribadian, saya tergoda untuk menuliskan ini. Tulisan ini adalah respon saya atas calon pemimpin bangsa dan negara yang rasanya penuh hingar-bingar. Gaduh memang, tapi Insya Allah bagi seorang pembelajar, justru itu akan mencerdaskan.
Dalam sebuah dunia yang terus berubah, di mana perbedaan pendapat menjadi hal yang lumrah, pemimpin sejati harus mampu membawa perbedaan tersebut ke dalam pangkuan kebijaksanaan. Kita akan melihat bagaimana kesantunan, kesopanan, dan adab yang terjaga menjadi modal utama seorang pemimpin untuk menciptakan suasana yang nyaman, aman, dan penuh hormat di sekitarnya.
Saat ini, rasanya sangatlah penting untuk kita dalam untuk membahas pentingnya kematangan sikap yang melekat pada calon pemimpin bangsa dan negara. Kematangan sikap bukan sekadar sebuah atribut, melainkan fondasi yang kokoh bagi kepemimpinan yang beretika dan berkeadilan.
Sikap dan Etika dalam Kepemimpinan: Fondasi yang Tidak Tergoyahkan
Sebuah kepemimpinan yang membanggakan harus mewakili sikap yang baik, etika yang tinggi, dan kesantunan yang mendalam. Tidak layak bagi seorang calon pemimpin untuk bersikap "savage", "cringe", songong, sikap yang kasar, menghina lawan bicara, atau merendahkan siapapun. Sikap kritis haruslah berpadu dengan kebijaksanaan, bukan kesombongan. Bukan pula yang dianggap 'lancang' dan tidak sesuai tempatnya yang bisa masuk kategori pelanggaran etika.
Bila pelanggaran itu terjadi, apalagi itu ditunjukkan berulang-ulang, konsekuensinya bisa serius. Yaitu mendapat mendapat sorotan, tanggapan, pandangan dan sentiment yang mayoritas negatif. Baik dari netizen, maupun dari media asing.
Dalam keseharian, perlu diakui bahwa perbedaan pandangan adalah hal yang wajar. Namun, kematangan sikap tampak saat seorang pemimpin mampu meresapi perbedaan tersebut dengan penuh rasa hormat. Pendapat yang berbeda bukanlah alasan untuk menyematkan label musuh, melainkan sebagai potensi lawan pemikiran yang dapat memperkaya perspektif.
Rasanya, tidaklah bisa disalahkan pendapat ini. Bahwa sesorang yang lahir dari pelanggaran etika, atau banyak bergaul dengan orang-orang yang suka atau kerap melanggar etika, besar kemungkinan ia tidak akan memahami etika