"Di antara reruntuhan sekolah, suara doa seorang anak menggema: 'Semoga kita bertemu di taman surga-Mu dengan ceria, lebih bahagia, dan penuh kebahagiaan."
Di sebuah kampung halaman di Jabalia, utara Gaza, setengah berlari Amir pergi ke sekolahnya. Hari itu, matahari terbit dengan lebih ceria di langit biru, memberikan kehangatan pada pagi yang cerah. Amir bersiap-siap ingin bertemu dengan teman-temannya dan melihat bagaimana kini sekolahnya. Namun, ketika ia tiba di sana, pemandangan yang ditemuinya tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Gedung sekolah yang biasanya ramai dengan tawa dan canda, serta lingkungan yang selalu dipenuhi senyum anak-anak, kini hanya tinggal reruntuhan dan tanah lapang yang terluka. Bom-bom yang mengerikan semalam telah menghancurkan segalanya, merenggut kehidupan yang biasa mereka nikmati.
Amir berdiri di tengah reruntuhan itu, matanya yang polos penuh kebingungan dan kepedihan. Satu persatu bayangan wajah guru-gurunya berkelebatan memberi sapaan dan senyuman. Lalu, satu per satu sahabat-sahabatnya pun bergantian dengan cepat ia kenang. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat begitu pucat dan teramat sedih. Ia mencari-cari tanda-tanda kehidupan di antara reruntuhan itu, tetapi yang tersisa hanyalah keheningan yang menyayat hati.
"Di mana guru-guruku berada?" bisik Amir, suaranya hampir tercekat oleh tangisnya yang tak tertahankan. "Dimana teman-temanku sekarang berada? Kapan kita belajar lagi? Kapan kita bermain bersama di halaman sekolah lagi?"
Amir meratapi kehilangan yang begitu mendalam. Di tengah kehancuran itu, ia merasa sendirian, kehilangan jejak orang-orang yang selalu memberinya kehangatan dan kebahagiaan. Hatinya hancur, seperti pecahan-pecahan tembok sekolah yang sekarang berserakan di sekelilingnya.
Dalam kesedihan yang mendalam, Amir menundukkan kepalanya, menatap jalan dan sekolah yang dulu begitu akrab itu. Ia merindukan pelajaran-pelajaran yang menginspirasi, dan permainan-permainan yang membuat hari-haranya penuh tawa. Tetapi kini, semuanya tinggal kenangan yang tergores oleh puing-puing kehancuran.
Namun, di tengah kepedihan itu, terdengar suara kecil dalam hati Amir, "Ya Allah, berikanlah kesabaran dan kekuatan pada kami. Terimalah sahabat-sahabatku dan guru-guruku di sisi-Mu dengan sebaik-baik penerimaan. Ampunilah dosa-dosa mereka dan tempatkanlah mereka di taman surga-Mu yang penuh kebahagiaan."
Amir mengangkat wajahnya, matanya yang semula dipenuhi kepedihan, kini dipenuhi harap. "Semoga kita ketemu di taman surga-Mu nanti dengan lebih ceria, lebih bahagia, dan lebih kita nikmati bersama. Aku rindu pada guru-guruku. Aku kangen pada semua sahabat-sahabatku."
Sebelum berbalik, dan meninggalkan sekolahnya, Amir pun bersipuh dan mengangkat kedua tangannya. Khusus' berdoa: