Ribuan Kades se-Indonesia berunjuk rasa di depan Gedung DPR, Selasa (17/1/2023) siang. Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) sedang memperjuangkan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Para kepala desa (kades) yang tergabung dalam Apdesi ini melakukan unjuk rasa karena dua alasan. Pertama, kades meminta waktu yang lebih lama untuk memperbaiki soliditas masyarakat karena keterbelajaran pasca pemilihan kades. Kedua, dana yang digunakan untuk pemilihan kades lebih baik digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Kades juga mengancam akan menghabisi partai politik di pemilu 2024 yang tak mendukung perpanjangan masa jabatan kades.
Dari kacamata risk manahement, kepala desa yang memperjuangkan revisi undang-undang ini bisa membuka celah baru untuk memahami dampak langsung dari masa jabatan yang terlalu lama. Juga menarik perhatian untuk mengkaji ulang bagaimana mengantisipasi dan mencari solusi untuk mengatasi masalah korupsi dan nepotisme di desa.
Kegaduhan Publik : Dampaknya Bisa Banyak
Aksi ini menyebabkan ruang publik menjadi gaduh dan netizen pun geram. Mereka mengeluh, "Jabatan itu amanah bukan malah minta nambah" dan "Kenapa mundur lagi cara berpikir kita dulu pernah sembilan tahun diganti 6 tahun kok balik lagi diusul 9 tahun ada ada saja". Keluhan lain datang dari emak-emak yang menganggap ini hanya untuk mengembalikan modal pilkades.
Jabatan yang terlalu lama akan mengakibatkan kecenderungan terbentuknya kroni, dinasti, otoriterian dan korupsi. Lebih jauh bakal menciptakan monster di desa. Penggiat sosial Jhon Sitorus menyebut ini nglunjak, tak masuk akal. Menurutnya, pada kepala desa yang aksi damai di depan Gedung DPR/MPR RI pada 17 Januari itu ngelunjak, "Itu namanya ngelunjak woi. Mana rata-rata korup lagi. Ini adalah praktek nyata merusak demokrasi, sekaligus memperbesar peluang KORUPSI dan NEPOTISME 9 tahun (18 tahun jika 2 periode) juga MEMUTUS regenerasi bibit-bibit pemimpin desa Ujung-ujungnya anak muda akan APATIS, minim kontribusi," sebutnya (Fajar.co.id, 19/01/23).
Pendapat ini mengingatkan saya pada pernyataan Lord Acton, guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19. Katanya, "Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan 'pintu masuk' bagi tindak korupsi". Ia pun menambahkan, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)."
Tuntutan Apdesi dalam Perspektif Risk Management
Dari perspektif risk management, aksi tuntutan kades ini dapat dianggap sebagai suatu risiko yang mungkin memiliki dampak negatif pada banyak hal. Khususnya pada stabilitas politik, ekonomi, dan sosial di desa-desa yang tergabung dalam Apdesi.
Risiko ini dapat menyebabkan kegaduhan publik, kekecewaan masyarakat, dan mengurangi kepercayaan pada pemerintah desa. Risiko ini juga dapat menyebabkan kerugian finansial dan reputasi bagi pemerintah desa yang terlibat dalam aksi tuntutan tersebut.