[caption caption="Foto @ liburananak.com"][/caption]
Mal tidak pernah menjadi sebuah ruang publik, karena hanya bisa mendekatkan manusia, tanpa pernah mengeratkannya.
Ruang publik, sebuah kata yang acap kita dengar dan kita ucapkan. Tapi tahukah Anda apa sebenarnya ruang publik? Orang kerap mengartikan ruang publik sebagai ruang terbuka yang bisa diakses oleh masyarakat. Memang kriteria tersebuat ada benarnya. Namun, kurang lengkap. Ruang publik adalah wadah bagi masyarakat untuk melaksanakan aktivitas yang bersifat terbuka bagi semua lapisan masyarakat dan memiliki fungsi sebagai ranah yang memanusiakan masyarakat. Ruang publik berperan sebagai mediasi antara ranah domestik dengan ranah bekerja (Carmona, et al, 2003).
Definisi secara akademik tersebut sebenarnya sudah cukup lengkap. Wadah masyarakat, terbuka untuk semua lapisan masyarakat, dan memanusiakan masyarakat. Tapi saya ingin membuatnya lebih sederhana. Ruang publik adalah sebuah ruang terbuka bagi masyarakat yang mendekatkan sekaligus mengeratkan (hubungan) manusia. Itulah alasan mengapa mal tidak masuk sebagai ruang publik, meskipun menjadi wadah yang terbuka bagi masyarakat.
Untuk mempermudah pemahaman tentang mendekatkan dan mengeratkan, saya akan memberikan ilustrasi atas apa yang saya lakukan bersama keluarga. Beberapa waktu lalu, saya mengajak keluarga saya ke Taman Suropati, Jakarta. Di tempat tersebut, ada banyak orang yang secara fisik memang dekat (jaraknya). Orang-orang tersebut orang yang baru pertama kami temui dan belum kami kenal sebelumnya. Ketika sekelompok remaja berlatih biola dan alat musik lainnya, kami yang tak ikut berlatih lantas mendekat dan melihat. Tanpa komando siapa pun, saya mengajak berbicara seorang bapak yang ternyata rumahnya cukup jauh, di Bintaro.
Sekarang bayangkan Anda datang ke sebuah mal. Di selasar mal tersebut ada sebuah pertunjukan musik akustik. Orang-orang yang berlalu lalang kemungkinan besar akan menonton pertunjukan tersebut. Tapi apakah mereka akan saling berbicara dengan orang yang tidak mereka kenal? Rasanya tidak. Beberapa orang mungkin hanya melongokkan kepala dari lantai dua atau lantai tiga dan kemudian melanjutkan ke toko yang ingin ditujunya. Orang-orang di mal ini juga dekat secara fisik, seperti orang-orang yang ada di Taman Suropati, tapi tak tercipta hubungan emosi yang erat antar mereka.
Saya akan memberikan contoh satu lagi mengenai ruang publik yang bisa mengeratkan hubungan manusia yang sebelumnya tak saling kenal. Teman saya piknik ke Museum Jakarta—lebih terkenal sebagai Museum Fatahillah—bersama keluarganya. Ketika tengah berjalan-jalan, anaknya melihat patung Jenderal Sudirman di pelataran museum. Si anak mendekat dan menyentuh patung tersebut. Ketika tangannya menyentuh baju patung Jenderal Sudirman, patung tersebut bergerak. Ya iyalah, patung tersebut memang aslinya manusia. Awalnya si anak agak takut. Tapi setelah digendong bapaknya dan diberi pengertian, si anak bisa berinteraksi dengan seru dengan manusia patung. Bukan sekadar bersapa, tapi juga bercanda dan tertawa. Mungkinkah hal seperti ini terjadi di mal? Rasanya sulit.
[caption caption="Foto @ life.viva.co.id"]
Salah satu fungsi terpenting dari ruang publik seperti saya contohkan di atas adalah mendekatkan dan mengeratkan hubungan sosial antar-pengunjung ruang publik, yang bahkan sebelumnya tak saling kenal. Seperti penjelasan Carmona, ruang publik berfungsi untuk memanusiakan masyarakat. Ruang publik yang baik akan bisa menciptakan interaksi antar manusia yang ada di dalamnya. Sekat-sekat individu akan luruh lewat berbagai aktivitas orang-orang yang ada di dalamnya.
Ruang publik yang baik akan memiliki dampak positif terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini dibuktikan dalam sebuah Survei di Inggris bahwa 85% responden merasa kualitas ruang publik memiliki dampak langsung pada kehidpan mereka dan merasa hidup mereka lebih nyaman setelah menikmati ruang publik yang baik. Saya pun merasa demikian. Setelah menghirup udara segar, melihat konser orkestra gratis (walau hanya latihan), dan memberi makan burung merpati bersama anak, hidup saya terasa lebih ringan. Penat setelah seminggu bekerja bisa luruh dalam setengah hari rekreasi di ruang publik.
Setiap kota, bukan hanya kota besar seperti Jakarta, memerlukan ruang publik yang baik. Bagi saya, salah satu contoh ruang publik yang baik adalah Taman Suropati. Mengapa saya sebut baik, karena taman ini memenuhi kriteria ruang publik yang baik seperti di bawah ini: