"Kayak sama siapa saja, tetangga itu kan sodara paling dekat," kata Oma.
Dia seperti pernah mendengar kata-kata itu. Tapi lupa di mana. Setelah mengingat-ingat, Kamijo tahu bahwa kata itu diucapkan oleh penceramah dalam kultum di masjid dekat rumahnya. Tapi ia lupa apakah itu kutipan dari Alquran, hadits, atau hanya kata mutiara dari ustadz. Tak terlalu penting baginya, tapi menurutnya hal tersebut benar dan kamijo setuju.
Di lain hari, dia juga ingat Putra, anaknya yang kecil pulang dengan mulut belepotan sambil senyum-senyum. Ketika ditanya darimana dan kenapa mulutnya belepotan? Putra menjawab:
"Dari Oma. Tadi dikasih kue setoples," katanya polos. Hadeh, dalam hati Kamijo agak malu, karena anaknya sudah menghabiskan setoples kue punya Oma. Tapi ya namanya anak balita. Belum punya ewuh pekewuh alias rasa malu soal begituan.
Kamijo melanjutkan kegiatan mencari foto yang paling keren, cute, dan menggemaskan untuk disandingkan dengan tulisan heroik dan nasionalis tersebut.
Belum selesai dia memilih foto, istrinya keluar dari kamar dan duduk di sofa, tepat disebelah pinggangnya. Ah, terasa mesra.
"Lagi ngapain sih Pak?" tanya istrinya.
"Ini lagi nyari foto untuk ganti foto profil di medsos. Keren. Aku Indonesia, Aku Pancasila. Keren kan?" kata Kamijo sambil menunjukkan foto profil temannya yang sudah menggunakan tagline tersebut.
"Kok foto cewek yang dilihatin?" tanya istrinya, sedikit sewot dan menyelidik.
"Halah, ini cuman contoh lo Bu. Ya cintaku tetap padamu to. Kamu itu kok sayang banget sama aku, liat foto profil orang aja sampe cemburu," kata Kamijo.
"Halah, gombal amoh Pak. Ndak usah ngerayu. Mau ngingetin saja, nanti habis isya ada undangan rapat RT. Terus besok malam, ada undangan Yasinan di Pak Nas," kata istrinya.