Oleh: Zaki Ibrahim
Benci tapi lebih sering sayang sepertinya istilah tepat untuk menggambarkan hubungan Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Sebagai dua tokoh senior Partai Golkar, yang telah malang-melintang di dunia politik tanah air, jelas nian jika mereka punya konsepsi masing-masing dalam pembangunan partai beringin. Asam-garam karir politik, termasuk menjabat di pemerintahan, telah menempa keduanya menjadi sosok yang keras kepala dalam memperjuangkan apa yang mereka yakini.
Walhasil, pada titik-titik tertentu perbenturan pun terjadi. Yang terparah, beberapa waktu lalu beredar isu pemecatan Agung Laksono dari posisi Waketum Golkar akibat perbedaan pendapat dalam penentuan waktu Munas Golkar dengan Aburizal Bakrie. Tetapi konflik pun mencair, setelah kedua tokoh ini adu argumen dan saling lempar gagasan dalam suatu pertemuan di bulan Agustus 2014.
Dan pada pembukaan Muspimnas Kogoro, Sabtu (14/9/2014), Agung dan Ical terlihat akrab saat memasuki ruang pertemuan. Keakraban yang ditunjukkan dua petinggi Golkar ini seakan menunjukkan tidak ada konflik di antara mereka.
Bagaimana mungkin kedua politisi senior yang terkenal siap berjibaku memperjuangkan pendapatnya ini, dapat kembali akrab seperti itu. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kejadian ini.
Pertama, Agung Laksono dan Abrurizal Bakrie sudah puluhan tahun bersahabat karir. Keduanya sudah sangat saling mengenal. Bahkan dalam event-event perpolitikan nasional, khususnya Partai Golkar, kedua sering bahu-membahu.
Terpilihnya Akbar Tandjung dan kemudian Jusuf Kalla sebagai Ketum Golkar, tidak bisa dipisahkan dari cetak tangan keduanya. Ketika Aburizal Bakrie maju sebagai Ketum Golkar, Agung Laksono bersama Akbar Tandjung pun tampil sebagai pendukung nomor satu.
Kedua, Agung Laksono dan Abrurizal Bakrie sama-sama punya pandangan bahwa dalam batasan umum, selisih pendapat merupakan hal biasa yang terjadi antarkader dalam partai. Lebih-lebih, perseteruan Agung Laksono dan Abrurizal Bakrie tempo hari, bukan perseteruan yang bersifat personal, melainkan lahir dari perbedaan cara pandang menyikapi pembangunan Golkar ke depan. Kebetulan saja, Agung Laksono sebagai politisi Golkar senior menjadi representasi dari kubu yang berseberangan pendapat dengan Ical.
Agung Laksono dan Aburizal Bakrie sebagai corong utama kedua kubu ini pun paham kalau subtansi perbedaan diantara mereka sebenarnya bermuara pada satu titik, yaitu mengembalikan kejayaan Golkar. Ketika perbedaan ini sudah direka-reka mulai berpotensi negatif bagi kesatuan partai golkar, dengan bijak keduanya pun berdialog untuk menyelesaikan masalah. Lantaran itu, hanya butuh satu pertemuan bagi mereka untuk membangun kesepahaman bersama.
Ketiga, perseteruan Agung Laksono dan Ical tempo hari juga kental nuansa non pragmatis. Hasutan pihak luar yang menyebut Agung Laksono sudah kebelet jadi ketum Golkar, dibantah tegas oleh Menko Kesra ini.
Ical sendiri sangat sadar kalau Agung Laksono tidak pernah bermaksud menjadikan Munas Golkar sebagai ajang untuk melengserkannya. Gugatan Agung Laksono lebih kepada upaya menjalankan tertib organisasi, upaya untuk bergerak sesuai dengan mekanisme organisasi yang diyakininya.
Lagipula hasutan ini memang kabur sejak awal beredarnya. Bagaimana mungkin Agung Laksono menjegal Ical, jika dirinya merupakan tokoh utama pendukung Aburizal Bakrie menuju kursi ketum Golkar. Bukankah kita semua tahu, pada Munas Golkar di Pekanbaru silam sempat beredar faksi Triple A, yaitu Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Istilah ini secara tegas menyatakan betapa dekatnya ketiga politisi senior ini.
Dengan demikian, tepatlah jika disebut jika hubungan Agung Laksono- Aburizal Bakrie adalah benci tetapi lebih sering sayang. Benci dalam konteks perbedaan pendapat, tetapi saling sayang jika sudah bicara perkawanan dan pembangunan Golkar ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H