Hari Guru Nasional diperingati setiap tanggal 25 November pada setiap tahunnya. Berdasarkan sejarahnya, penetapan tanggal 25 November sebagai guru bertepatan dengan lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI sendiri lahir pada tanggal 25 November 1945 melalui pelaksanaan Kongres Guru Indonesia di Surakarta. Kongres ini menjadi wadah penyatuan guru tanpa latar belakang agama, tamatan pendidikan, lingkungan pekerjaan, politik, suku dandaerah, yang dihapuskan melalui kegiatan tersebut. Seluruh guru sepakat bahwa mereka bersatu atas dasar tekad perjuangan, persatuan, dan cita-cita luhur pencerdasaan bangsa.
Menilik lebih ke belakang, pada tahun 1912 telah berdiri organisasi perjuangan guru-guru pribumi melalui Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB). Organisasi ini bersifat unitaristik, yang berarti tanpa memandang perbedaan ijazah, suku, agama, golongan, gelar, dan gender.Â
Sejalan dengan keadaan itu maka di samping PGHB berkembang pula organisasi guru baru antara lain Persatuan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Guru Desa (PGD), Persatuan Guru Ambachts School(PGAS), Perserikatan Normaal School (PNS), Hogere Kweek School Bond (HKSB),disamping organisasi guru yang bercorak keagamaan, kebangsaan atau lainnyaseperti Christelijke Onderwijs Vereneging (COV), Katolieke Onderwijsbond (KOB),Vereneging Van Muloleerkrachten (VVM), dan Nederlands Indische Onderwijs Genootschap (NIOG) yang beranggotakan semua guru tanpa membedakan golongan agama.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden No 78 Tahun 1994 menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional sebagai bentuk penghormatan kepada para guru. Kita sering mendengarkan papatah bahwa guru adalah "pahlawan tanpa tanda jasa", dalam diam dan dinginnya ilmu pengetahuan, Ia mengabdi untuk cita-cita mulai mencerdaskan kehidupan bangsa. Berpikir bagi kepentingan bangsa dan bangga serta haru saat menyaksikan muridnya berhasil atau dapat mengejarkan sesuatu adalah keniscayaan bagi guru. Namun, dalam peringatan hari guru kali ini, kita akan berefleksi kembali soal guru, keterbatasan, dan pencerdasan bangsa
Melampaui Keterbatasan
Hidup ini hanya memiliki dua batas yaitu lahir dan mati. Namun, untuk mengisi waktu antara lahir dan mati itu, setiap orang memiliki jawaban serta harapannya tersendiri. Ada orang yang memilih memakani hidup ini sebagai kutukan, ada orang yang menerimanya sebagai ruang untuk berjuang, ada orang yang memaknainya untuk mencari materi sebanyak-banyaknya, ada orang yang ingin berkuasa, ada orang yang ingin menikmati hidup, dan lain sebagainya. Namun,di luar berbagai makna tersebut, ada sebagian orang yang memilih menjadi guru, meskipun ini menjadi pilihan karena terpaksa atau ada hasrat untuk mengabdi.
Melampaui pilihan itu, sering kita mendengar berbagai cerita perjuangan guru dalam mengajar di berbagai pelosok negeri, perjuangan guru dalam mencukupi kebutuhan hidup, cerita guru yang membagi waktu antara menjadi orang tua, anak, teman, dan sahabat, cerita guru yang banyak terkunci geraknya melalui aturan,cerita guru yang mendirikan sekolah gratis bagi anak jalanan, bahkan cerita soal guru yang harus dianiaya oleh muridnya sendiri.
Semua itu adalah realita yang ada di baliknya cita-cita kemerdekaan untuk mencerdasakan bangsa. Dari hari guru, kita dapat mengambil spirit pengandaian dan rasa tak kenal lelah untuk saling mendidik. Adanya berbagai kendalan dan batas bukan menjadi penghalan untuk dapat melihat anak didiknya bisa berhitung, membaca, dan menghormati satu sama lain. Guru dalam berbagai pengertian diartikan sebagai seseorang yang bekerja dalam institusi pendidikan, namun bukanlah semua orang adalah guru sekaligus murid, karena dalam mengisi ruang hidup antara lahir dan mati, kita pasti berjumpa dan bernegosiasi dengan orang lain. Disinilah tugas utama pendidikan nasional tidak harus ditumpuhkan semua pada guru, tetapi merupakan satu kesatuan ekosistem pendidikan.
Menyemai Kecerdasan
Cerdas itu bukan hanya pintar, tapi memahami dan mengerti ilmu pengetahuan serta nilai. Namun, faktanya kita mengetahui bahwa pendidikan kita dihitung dari angka, artinya nilai yang baik adalah nilai yang tinggi, apakah itu menandakan kecerdasan? Saat anak tidak dapat memperoleh nilai tinggi jangan salahkan dia atau gurunya. Selain membawah amanah ilmu pengetahuan, guru juga membawah amanah etika, yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Sekarang, sadarkah kita bahwa, diantara kita semua, sering membicarakan kejelakan guru atau meninggalkan kelas saat Ia menjelasakan, bahkan sering juga ditinggal asyik ngobrol sendiri atau tidur. Saat, kita tidak bisa mengerjakan soal, kita akan menyalahkan gurunya yang memberikan soal sulit atau berkata "ini tidak pernah dijelaskan". Namun, di luar itu semua, pernahkah kita berusaha untuk bertukar posisi, bayangkan apa yang kita rasakan, saat yang menjadi guru adalah diri kita masing- masing.
Amanah pengetahuan, etika, dan nilai adalah hal yang harus disampaikan serta didialogkan dalam mengisi ruang antara lahir dan mati. Kecerdasaan itu bukan soal logika atau nilai tinggi, tapi keselaran antara pengetahuan, etika, dan nilai dalam berpikir, bertindak, serta berbicara dengan orang lain. Semua orang adalah guru sekaligus murid, karena setiap diri kita adalah pembelajar sepanjang hayat, menyemai kecerdasaan adalah langkah serta spirit untuk tidak kenal lelah selalu belajar soal semua hal tentang kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H