Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melampaui Batas (Cerita Reflektif di Balik Capaian Wisudawan Terbaik Fisipol UGM)

10 Juli 2019   09:53 Diperbarui: 10 Juli 2019   11:42 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 22 Mei 2019 menjadi hari bersejerah bagi wisudawan dan wisudawati UGM. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi anak tepi Sungai Brantas Kota Malang untuk menimbah ilmu di Fisipol UGM. Terlebih dengan kondisi keterbatasan ekonomi keluarga, seolah bermimpi untuk dapat berjumpa serta berguru dengan orang-orang hebat di Fisipol UGM. 

Bagaimana kekuatan mimpi dan harapan itu menjadi nyata ? Bahwa kondisi ekonomi bukan penghalang untuk dapat menempuh pendidikan tinggi, sebgaimana visi pendidikan untuk dapat memutus mata rantai kemiskinan. Begitu pula, reaksi bapak yang seolah bermimpi saat pertama kali menginjakkan kaki di Jogja dan memasuki kompleks UGM untuk menghadiri wisuda anaknya.

Bapak lulus SMP dan Ibu lulus SD, setiap hari bapak bekerja di bangunan sedangkan ibu berjualan kecil di depan rumah nenek. Semenjak SD, masalah ekonomi adalah sahabat bagi kami, waktu itu ibu-bapak rela untuk menutupinya dengan meminjam tetangga atau menggadaikan barang untuk anaknya dapat sekolah.

 Saat pendidikan di bangku SMP semakin mahal, ibu seringkali menutupinya dengan berbagai cara, termasuk hingga menjadi sarjana. Namun, ekonomi bukanlah penghalang, sebab visi pendidikan adalah memutus mata rantai kemiskinan bukan memiskinkan..

Penghargaan akademik selalu menyertaiku selama ini, penghargaan lulusan terbaik telah terpahat semenjak SD, SMP, SMA, dan Perguruhan tinggi. Akan tetapi, gemilannya prestasi tersebut ditambah dengan penghargaan dari lomba debat, cerdas-cermat, menulis, olimpiade tidak pernah membuat bapak-ibuk bangga kepadaku. 

Meskipun, dalam diam mereka atas prestasiku menyimpan rasa campur aduk yang mendalam. Satu hal yang ternyata menjadi kunci beliau untuk mendidik, tanggung jawab dan tidak pernah menjadikan anaknya merasa besar.

Mungkin waktunya telah tiba, pada sore sebelum kembali ke Malang, Bapak mengatakan, "selama ini, bapak tidak pernah bangga atas prestasimu agar kamu tidak pernah merasa besar dan selalu memiliki tantangan untuk digapai serta bertanggung jawab pada diri sendiri"

Merefleksikan kembali dunia pendidikan yang telah terlewati selama kurang lebih 12 tahun hingga SMA, dimana selalu menggunakan basis kompetisi dan pembagian siswa pintar atau bodoh. Logika tersebut mengalami transformasi saat diri ini berjumpa dengan banyak orang dengan kelas serta identitas berbeda.  

Bukan karena kelas atau paras kita hargai orang lain melainkan karena kualitas. Akan tetapi, bagaimana kualitas tersebut membuat kita belajar dengan dasar spirit kebersamaan. Fakta telah berbicara, bahwa mahasiswa-mahasiswi yang dapat menimbah ilmu disini adalah putra-putri terbaik bangsa, sehingga jika ingin menjadi cerdas jangan setengah-setengah. 

Berapa anak negeri ini, yang harus "tersingkir" dari bangku yang kita duduki? Sekarang saatnya, untuk kita dapat membuat mereka cerdas. Disitulah tugas kita sebagai bagian pengejahwantaan dari tri dharma pendidikan tinggi.

Terimakasih Fisipol UGM yang telah memberikan kepekaan rasa, ketajaman berpikir, dan kelembutan karsa dalam gerak spirit intelektual. Ini bukan pencapaian pribadi melainkan pencapaian bersama dalam proses belajar selama ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun