Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Prostitusi, antara Berkah dan Kutukan

9 Juli 2019   12:51 Diperbarui: 9 Juli 2019   13:43 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                         

Dunia prostitusi kerapkali menyorot perhatian publik, sebagian masyarakat menjustifikasinya sebagai gejala patalogis atau penyimpangan sosial. Beberapa waktu lalu, publik heboh dengan penangkapan salah seorang artis yang ditangkap karena prostitusi online. Menarik saat  kata "online" menjadi kata tambahan dari prostitusi. Gegap gempita revolusi 4.0 menjadi term baru dalam masyarakat, tidak terkeculi sampai pada ruang debat calon presiden. Akan tetapi, perkembangan tersebut juga menjadi penanda transformasi dan diversifikasi dari dunia prostitusi. Jika dahulu prostitusi identik dengan area lokalisasi yang lambat laun menjadi bagian dari identitas sebuah wilayah, misalnya---Sunan Kuning, Pasar Kembang, Saritem dll. Namun ditengah tetap eksisnya tempat tersebut terdapat ruang baru untuk bertransaksi, ruang tersebut dapat berupa aplikasi maupun media sosial. Bagaimana kita memposisikan prostitusi dalam gerak kehidupan dan transformasi atas kemudaan informasi ?

Prostitusi ibarat penanda peradaban, semenjak masa kolonial hal tersebut telah menjadi salah satu bagian yang tidak terlepas dari imperialisme. Hadirnya lokalisasi di titik-titik transisi penduduk---semisal stasiun---berkelindan dengan aspek kerja rodi dan akselerasi pembangunan demi memperkokoh dominasi kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, prostitusi menjadi salah satu upaya bernegosiasi dengan kolonialisme Jepang. Jejak panjang prostitusi kian semarak dengan aplikasi atau media sosial yang dimanfaatkan sebagai branding diri, pemasaran, dan transaksi. Merujuk tulisan soal ''Politik dan Pasar Media Sosial'' telah ditegaskan bahwa media sosial sejatihnya adalah arena, dimana pemanfaatannya tergantung oleh siapa dan bagaiamana memakainya. Namun perkembagan dunia prostitusi yang telah bertransformasi melalui media online mencuri perhatian untuk dikupas secara holistik.

Menggunakan hastag---#open bo---pada salah satu media sosial akan langsung menampilkan berbagai foto dan sedikit narasi atas foto tersebut. Perlu ditegaskan bahwa seksualitas adalah bagian dari hasrat dan fantasi, hal ini pula yang menjadi bagian dari upaya branding dunia prostitusi online saat ini dengan munculnya BBW(Big Beauty Woman), jilbobs, stw, dll. Menjamurnya fenomena ini berkelindan dengan munculnya penginapan murah atau kost eklusif, terlebih teknologi telah memfasilitasi homestay dengan mode promo oleh pengembangan star up penginapan. Oleh karenanya membaca aspek prostitusi merupakan bagian dari sistem, bukan hanya pendekatan soal aktor dan kita menyadari bahwa hukum positif dan agama pun tidak dapat maksimal mengatasi permasalahan ini.

Semacam buah simalakama saat kita membaca prostitusi sebab satu sisi pergerakan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan bergeliat, sebagaimana ujung dari semua kebijakan dan program pemerintah yang berusaha mengentaskan kemiskinan dan pemerataan kesejahteraan. Namun disisi lain, kode atas tindakan baik atau buruk menjadikannya sebagai gejala patologis. Dalam konteks kekuasaan, fenomena prostitusi dapat dibaca sebagai bagian kuasa informal, sebagaimana dalam dunia politik, mereka juga menjadi bagian dari warga negara dengan hak pilih sehingga pertarungan merebut hati oleh calon legislatif dan pemimpin pun juga terjadi pada dunia ini.

Untuk menyoal prostitusi online memang tidak muda, upaya pemblokiran akun juga tidak maksimal. Hal ini kembali menegaskan bahwa persoalan prostitusi tidak cukup memadai ditangani dengan hukum positif. Paradoks memang, saat membaca dunia prostitusi, kebanyakan pengampu kebijakan mengangapnya sebagai bagian persoalan kemiskinan, namun fenomena modernitas membawah narasi lain, soal upaya pemenuhan prestise dengan memakai barang bermerk terkenal dan instant untuk mendapatkannya, sehingga salah satu jalan pintasnya dengan memasuki dunia prostitusi. Oleh karenanya untuk menyoal kasus protitusi online terlebih dahulu kita harus memahami asal-muasalnya prostitui sendiri, sebab masih menjadi bagian dari akar yang sama.

Membaca soal prostitusi tidaklah muda, beragam aspek dasar meliputi---budaya, ekonomi, sosial, politik---terdapat pada geliat dunia ini. Oleh karenanya perlu upaya mengurai tirai-tirai tersebut dan semacam hipokrit saat sebagian orang memusuhi dan membenci hal ini namun disisi lain juga menjadi penikmatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun