Mohon tunggu...
Humaniora

Krisis Rohingya: Matinya Rasa Kemanusiaan Otoritas Myanmar

24 November 2016   13:11 Diperbarui: 24 November 2016   13:25 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan pemberitaan media tentang adanya tragedi kemanuasiaan yaitu pembantaian massal yang dilakukan oleh Militer Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya di Myanmar. Kejadian ini telah terjadi lagi untuk kesekian kalinya. Bahkan mungkin ada banyak pembantaian-pembantaian skala kecil yang tidak terberitakan seperti penyiksaan secara fisik berupa, pembakaran rumah-rumah penduduk, pembakaran tempat ibadah/masjid, pengusiran paksa dengan kekerasan, maupun penembakan secara membabi buta layaknya aparat keamanan yang memberondong tembakan karet kearah kerumunan demonstran. Semua orang bertanya-tanya kemana pemerintah Myanmar yang semestinya hadir melindungi warganya? apa akar masalahnya sehingga manusia-manusia keji masih hidup di bumi Myanmar? dimana hukum hadir dalam mengatasi tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis muslim Rohingya?

Pendiri Fortify Rights di Bangkok, Matthew Smith mengatakan, militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap suku Rohingya. Mereka melakukan segala cara untuk memusnahkan suku Rohingya dari muka bumi. Dalam sebuah video terlihat rumah-rumah suku Rohingya dihancurkan dan dibakar oleh militer Myanmar. Mayat-mayat suku Rohingya terlihat bermunculan dari dalam lumpur dan abu. Ironisnya Duta Besar Indonesia untuk Myanmar Ito Sumardi mengatakan sebalikanya, bahwa pemberitaan di media massa hanyalah hoax. Ito sumardi menyatakan tidak ada pmbantaian, pembakaran hanya dilakukan di rumah-rumah yang  tidak berpenghuni. Sungguh pernyatan aneh dan perlu diklarifikasi ulang dengan data empiris. Kalau ditelaah lebih lanjut pernyataan Ito, berpenghuni atau tidak, untuk apa rumah – rumah penduduk dibakar. Tentu saja rumah tersebut tidak berpenghuni lantaran penghuninya melarikan diri karena intimidasi aparat bersenjata yang hendak mengusirnya dari wilayah itu.

Seperti diberitakan harian Republika, kelompok LSM pejuang HAM Internasional Human Rights Watch (HRW) di New York menyatakan, pihaknya melihat bukti terdapat sebanyak 820 rumah dihancurkan di lima desa di utara Rakhine pada kurun waktu tanggal 10, 17, 18 November 2016. Pemandangan yang sangat kejam dan mengerikan sebagai gambaran genosida militer Myanmar terhadap suku Rohingya ini terjadi paling parah di desa Wa Peik, Maungdaw Districk. Peristiwa tragis ini terntu mengusik rasa kemanusiaan kita sebagai bagian dari komponen bangsa yang berpegang teguh pada salah satu asas pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Sungguh kekejaman yang dilakukan militer Myanmar sudah berada di luar batas kemanusiaan.

Di dalam Hukum internasional dikenal konsep Responsibility to Protect (R to P) yang secara sederhana dapat diartikan tanggungjawab sebuah negara untuk melindungi segenap warganya. R to P ini adalah prinsip yang diakui dan diterima dalam praktek hukum internasional sebagai konsekuensi logis dari kedaulatan sebuah negara.Nilai-nilai hak asasi Manusia telah menjadi konsensus universal seluruh negara untuk menjamin eksistensinya di muka bumi ini oleh karenanya negara memiliki tanggungjawab penuh atas setiap pelanggaran Hak asasi manusia. Dalam kasus ini pemerintah Myanmar justru absen. Bahkan tidak hanya absen, tetapi dengan rezim pemerintahan yang saat ini berkuasa yang notabene adalah kaum Bhuddist, turut adil besar dalam pembantaian etnis minoritas muslim Rohingya di wilayah Distrik Rakhine. Bahkan sumber lain mengatakan bahwa keberadaan etnis muslim di Myanmar ini dinilai oleh para kaum Bhuddist telah menjadi ancaman terhadap eksistensi umat Bhuddist di Myanmar. 

Apapun alasan yang melatarbelakangi konflik dan penderitaan etnis muslim Rohingya tersebut, tidak sepatutnya pemerintah Myanmar melakukan pembiaran terhadap pembantaian terjadi terus-menerus dan berulang, apalagi pelaku pembantaian adalah aparat bersenjata baik tentara, maupun polisi. Dan kini, puluhan ribu etnis rohingnya masih tertahan camp-camp pengungsian, sebagian masih terapung terombang-ambing di lautan ditinggal oleh sindikat perdagangan manusia, sebagian masih belum menetukan nasib masa depan di negara mana mereka akan menggantukan harapan untuk mencari suaka.

Akar masalah paling krusial dihadapi etnis Rohingya ini adalah soal status kewarganegaraan. Mereka tidak diakui oleh Pemerintah Myanmar sebagai bagian dari warga negara lantaran secara fisik etnis Rohingya ini berbeda. Mereka lebih dianggap mirip dengan Bangladesh ketimbang mayoritas warga Myanmar pada umumnya. Maka entis mayoritas Budha yang juga menguasai pemerintahan ini berniat untuk mengeliminasi keberadaan etnis minoritas muslim Rohingya. Tidak hanya operasi-operasi militer yang dilakukan untuk mengeliminasi Rohingya dari Bumi Arakan, tetapi juga melalui perangkat hukum UU Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, yang dibentuk untuk tujuan menghilangkan status kewarganegaraan Rohingya di Myanmar. peraturan tentang Kewarganegaraan Myanmar menetapkan 3 kategori warga negara, dan dari 3 kategori tersebut, tidak satupun kategori yang bisa diterapkan terhadap Rohingya. Itu artinya, Rohingya bukan warga negara Myanmar, sehingga sejak tahun 1982 Rohingya tidak berhak memperoleh KTP maupun Paspor Myanmar.

Seorang aktivis HAM dari SNH Advocacy center bernama Heri Aryanto mengatakan, secara historis wilayah Arakan/Rakhine dahulunya merupakan bagian jajahan British India, dan ketika Myanmar merdeka, wilayah ini kemudian diakui sebagai negara bagian Myanmar (Rakhine State). Namun sayangnya, meskipun tanahnya diakui, tetapi Rohingya tidak diakui sebagai bagian etnis bangsa Myanmar.

Menilik fakta-fakta tersebut, maka permasalahan Rohingya yang menjadi perhatian utama dan mendesak untuk segera diselesaikan adalah perihal “hak kewarganegaraan penuh” Rohingya. Hak Kewarganegaraan adalah hak asasi yang dijamin dan dilindungi hukum internasional. Bahkan di dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Deklarasi Universal HAM 1948 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan dan tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya. Dengan diberikannya hak kewarganegaraan penuh kepada Rohingya dan pengakuan Rohingya sebagai bagian bangsa Myanmar, akan mempercepat penyelesaian permasalahan Rohingya. 

Bagaimana caranya? Tentu, sebuah keharusan yang tidak boleh tidak, Organisasi Internasional (Baik ASEAN maupun PBB melalui instrumen HAM nya) wajib ambil bagian dalam penyelesaian krisis kemanusiaan di Myanmar yang tak kunjung usai ini. Berharap Myanmar menyelesaiakan sendiri masalah ini bagaikan pungguk merindukan bulan, menunggu sisa etnis Rohingya terbantai lagi adalah sebuah pembiaran yang hanya akan menimbulkan penyesalan lebih dalam di kemudian hari.

Hal lain yang tak kalah penting dan lebih mendesak adalah Organisasi Internasional harus menjamin kelangsungan hidup para pengungsi Rohingya di tempat-tempat pengungsian maupun yang masih dalam perjalanan laut yang tak tentu arah kemana mereka akan pergi. Terlepas dari motif apapun yang melatarbelakangi penderitaan yang dialami etnis Rohingya ini, kita semua pasti sepakat bahwa ini adalah tragedi kemanusiaan yang harus lenyap dari muka bumi ini. Semoga tak lama lagi kita akan mendengar perkembangan kabar baik dari saudara-saudara Muslim Rohingya. Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun