Mohon tunggu...
Agung Hariyadi
Agung Hariyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

www.agunghariyadi37.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Basanan-Wangsalan, Seni Pantun Banyuwangi dan Dinamikanya

1 Januari 2013   22:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:40 8179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BasananWangsalan, Berpantun Ala Banyuwangi dan Dinamikanya

Basanan adalah seni berpantun yang ada dan berkembang dengan baik di Banyuwangi. Basanan bisa diidentikkan dengan parikan Jawa, tapi pada prakteknya menggunakan bahasa Using. Sama seperti pantun dalam bahasa Indonesia, Basanan menggunakan pola Sampiran dan Isi. Sampiran adalah perangkat kata dan kalimat pembuka dalam basanan yang biasa digunakan sebagai penyelaras dengan isi basanan. Sementara Isi merupakan kalimat yang menjadi pokok dalam Basanan. Isi dari Basanan bisa berupa nasehat, sindiran ataupun pedoman hidup yang berguna untuk masyarakat. Dalam salah satu kisah yang pernah saya dengar, Basanan dulu juga biasa digunakan oleh seorang lelaki untuk melamar calon istrinya. Dalam pelaksanaannya, si Lelaki duduk di samping rumah dan membacakan basanan yang dia buat untuk merayu calon mempelai wanitanya.

Contoh Basanan :

Cemeng, cemenge manuk sikatan (Hitam, hitamnya burung sikatan)

Kadung Putih kethune pak Kaji (Jika putih kopyahnya pak Haji)

Meneng-meneng njaluk Pegatan(Diam-diam minta pegatan/cerai)

Goleko maning hang pinter ngaji(Carilah lagi yang pinter mengaji)

(Asmuni, Mangir-Rogojampi)

Wangsalan pada prinsipnya sama dengan basanan. Jika Basanan adalah pantun yang berisi nasehat, sindiran atau pegangan hidup, wangsalan adalah sebaliknya. Wangsalan adalah seni berpantun yang biasa digunakan untuk bermain tebak-tebakan. Sama seperti Basanan, Wangsalan juga menggunakan kalimat sampiran dan isi. Perbedaan lain dari Wangsalan adalah adanya jawaban yang muncul dari pantun ini.

Contoh Wangsalan :

Nang Padang Ulan kelompenan(Ke Padang Ulan pakai terompah)

Pirang ulan riko demenan(Berala bulan/lama pacaran)

Sama seperti pantun dalam bahasa Indonesia, Basanan-Wangsalan juga menggunakan rima. Rima adalah padanan/persamaan bunyi di akhir kalimat dalam pantun atau puisi. Dalam Basanan-Wangsalan, rima yang sering digunakan adalah: a-a-b-b, a-b-b-a dan a-b-a-b. Sangat jarang, bahkan sangat sulit kita temukan basanan yang menggunakan rima lainnya.

_ _ _

Basanan-Wangsalan dan perkembangan jaman

Basanan-wangsalan sebagai seni puisi lisan yang bersumber dari kearifan budaya lokal sampai saat ini masih tetap eksis dan berkembang di tengah masyarakat Banyuwangi, terutama dari etnis Using. Meski perkembangannya tidak sebaik jaman dulu, namun keberadaannya masih tetap terjaga. Meski basanan sudah jarang kita temui dalam ritual lamaran, tetapi wangsalan masih sering kita temui dan digunakan dalam acara tebak-tebakan. Biasanya Basanan-Wangsalan masih sering ditampilkan dalam berbagai pertunjukan budaya Banyuwangi seperti di pementasan seni Gandrung, Seni Djinggoan dan kesenian yang lain.

Basanan-Wangsalan meski tidak sebanyak dulu yang menggunakan, tapi masih bisa kita temui. Di kalangan masyarakat baik generasi tua ataupun generasi mudanya, baik dari kalangan berpendidikan ataupun kalangan berpunya sampai kalangan bawah masih banyak yang mahir menggunakannya. Bahkan sering digunakan sebagai/semacam acara bertegur sapa di berbagai acara baik resmi ataupun nongkrong di warung kopi.

_ _ _

Basanan – Wangsalan dan perkembangan jaman.

Menyadari mulai tergerusnya budaya ini dalam kehidupan sehari-hari, banyak seniman Banyuwangi yang tergerak untuk aktif melestarikannya. Jika di awal 2000-an yang lalu kegiatan itu belum terlihat, sekarang gerakan itu semakin kelihatan. Di banyak radio yang mengudara di Banyuwangi, basanan-wangsalan saat ini menjadi salah satu acara wajib. Acara ini biasanya disiarkan secara langsung dengan pemutaran lagu-lagu kendang kempul. Lagu kendang kempul sendiri adalah lagu etnis Banyuwangi yang berkembang sudah cukup lama dan kembali dipopulerkan di tengah masyarakat oleh Haji Ali ( Ayahanda dari artis Emilia Contessa, Kakek dari Denada Tambunan )

Bukan hanya seniman tua yang masih ingin mempertahankan budaya ini dalam masyarakat, seniman-seniman muda yang saat ini berusia di bawah 35 tahun pun ikut berupaya melestarikannya. Jika seniman-seniman sepuh masih sering menyelipkan basanan pada acara Gandrungan, Djinggoan ataupun pembacaan Mocopat berbahasa Using, maka seniman-seniman muda Banyuwangi memasukkan unsur ini dalam kreasi lagu-lagu kendang kempul versi baru. Barisan seniman muda yang cukup sering memasukkan Basanan-Wangsalan dalam karya mereka antara lain Demmy, Athang Arthuro, Nanang Yuswantoro Zuniar, Dhani Ghumintang, Adesrtya Mayasari dan pencipta lagu lainnya.

Sama seperti berpuisi dengan tehnik berima yang pernah saya pelajari dari Om Dimas Nur (kompasioner Bandung), lagu-lagu Banyuwangi yang dipadukan dengan seni Basanan-Wangsulan ini serasa lebih enak dinikmati. Seperti mendengar petuah yang susul menyusul dari satu bait ke bait lainnya. Menikmati rima di akhir kalimat diiringi dengan alunan musik etnis yang sekarang dikolaborasi dengan alat musik modern benar-benar menenteramkan. Meski kadang syairnya terdengar mendayu-dayu, tapi dengan adanya basanan-wangsalan di dalam syairnya tak lagi terdengar mendayu-dayu.

Pada beberapa tulisan terakhir saya yang berupa Puisi atau Cerpen biasanya saya beri iringan lagu-lagu Banyuwangi versi baru. Hal ini saya maksudkan untuk ikut berupaya memperkenalkan budaya dan lagu Banyuwangi serta ini salah satu usaha melestarikannya. Setiap lagu yang saya selipkan di dalam postingan biasanya tidak hanya saya pilih hanya semata kesamaan tema atau pesan dengan isi postingan, tapi juga adanya basanan dalam syairnya. Berikut ini beberapa syair lagu yang menggunakan basanan-wangsalan sebagai syair lagunya.

# Linthang Lontar (Cipt:Athang Arthuro-Nanang YZ, Voc: Chy Chy Viana, berima a-b-a-b)

Pacul guwang, mung khari arane (pacul guwang, tinggal nama saja)

Kok dibuwang, serto wes kari ampase (kok dibuang, saat tinggal ampas saja)

# Nyonggo Roso (Cipt: Ion Emas, Voc: Suliyana, berima a-b-a-b)

Nong alas, kemulan sarung (Ke hutan, kemulan sarung)

Wes kadung welas, tibane wurung (Terlanjur cinta, nyatanya batal)

# Mentolo (Cipt: Abdul Hadi, Voc: Suliyana, berima a-a-a-a)

Kadung wes ilang roso(Jika sudah hilang rasa)

Mergo keseron nggersulo(Karena terlalu dalam terluka)

Bengen sun eman sun pujo-pujo(Dulu kujaga kupuja-puja)

Sing Weruho mentolo(Tak tahunya begitu tega)

# Benthet Cingkire (Cipt: Atang Arthuro-Nanang YZ, Voc: Chy Chy Viana, berima a-b-a-b)

Arep-arep, Mung biso ngarep(Berharap, hanya bisa berharap)

Angen-angen, Mung biso Ngangen(Membayangkan, hanya bisa membayangkan)

# Gelang Alit, (Cipt: Machfud-Fatrah Abal, Voc: Sumiati, Berima a-a-b-b. Lagu ini menurut Mbah Sujiwo Tedjo penuh unsur mistik dan pernah dibawakan oleh Ikke Nurjanah dengan judul yang sama)

Segoro yo ono pesisire(Samudra ada pantainya)

Isun welas ono batese(aku cinta juga ada batasnya)

Wedang kopi belung nongko(wedang kopi hatinya nangka)

Raino bengi yo mung kathon riko(setiap malam hanya ingat dirimu)

# Jare (Cipt: Imam Rosyidi, vocal: Kurnia Dewi/Catur Arum, berima a-a-a-a)

Nang tembakon, nyambaing sawahe(Ke Tembakon, melihat sawahnya)

Milu takon, paran salahe(Ikut bertanya apa salahnya)

Mestine ono sebabe(Semestinya ada sebabnya)

Apuo riko sing ono merene(Kenapa kamu tak mau kesini/bersua)

_ _ _

Kesimpulan

Sebenarnya bangsa ini punya banyak budaya yang cukup adiluhung dan besar, tapi karena minimnya perhatian masyarakat dan pemerintah (yang tak mau disebut dengan takut dibilang ketinggalan jaman) maka budaya-budaya itu terancam punah oleh perkembangan zaman. Budaya-budaya itu baru dipelajari dan coba dilestarikan setelah diklaim atau diakui bangsa lain. Padahal sejujurnya kitalah yang memberi kesempatan mereka. Seperti rumah yang tak pernah tertutup/terkunci pintunya, saat isinya ada yang hilang jangan pernah sekalipun marah kepada pencurinya, tapi marahlah pada kebodohan diri sendiri. Pun dengan kasus budaya yang diklaim bangsa lain, itu semata karena kita tak pernah berupaya untuk melestarikannya. Kita sibuk menikmati aksi PSY-gangnam style yang tak lebih baik dari jaipong, atau hip-hop yang tak selegendaris musik campur sari ataupun musik reggae yang masih lebih rancak musik batak.

Bangsa kita adalah bangsa yang memiliki kebudayaan yang paling beragam, yang paling banyak diminati bangsa lain. Tapi seberapa banyak anak bangsa yang tanpa malu dan bangga mengakui budayanya di ranah antar bangsa? Sangat sedikit. Hanya duta-duta budaya saja yang coba melestarikannya. Apa kita tidak malu dengan banyaknya warga asing yang mahir memainkan budaya kita? Ada warga amerika yang mahir menjadi sinden, warga jepang mahir tari Bali ataukah seorang keturunan Belanda yang mahir menyanyikan lagu Kendang Kempul Banyuwangi? Sejujurnya saya pribadi malu, dan perasaan itu semakin tergugah sejak saya ada di rantau. Saya semakin malu saat angklung diakui sebagai budaya negeri Jiran.

Di event Fiksiana yang terakhir, sebenarnya saya ingin menampilkan seni Basanan ini, tapi karena waktu dan terhalang kendala bahasa saya membatalkannya. Cara yang bisa saya lakukan hanyalah menyelipkan lagu-lagu kendang kempul dalam postingan fiksi. Selain menjadi backsound yang bagus, setidaknya ada yang bisa saya lakukan untuk budaya asal daerah saya. Baik ataupun buruk, budaya harus dilestarikan. Jika ada yang menurut beberapa pihak “kurang pantas” ada baiknya kita mengkritik dengan baik dan memberi solusi untuk perubahan yang lebih baik, bukan menghakimi sebagai budaya minor. Berbanggalah lahir dan besar di bumi Indonesia yang kaya akan budaya.

----

Denpasar, 02012012.0545

Masopu


Note :

Ditulis karena keprihatinan penulis dengan semakin memudarnya budaya berbalas pantun di beberapa daerah di Indonesia

Ditulis berdasar pengalaman pribadi penulis dan penambahan referensi dari beberapa blog yang hanya memberi contoh basanan-wangsalan khas Banyuwangi.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun