[caption id="attachment_212730" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Koleksi Kalimaya Art Ghalery"][/caption] 60 menit terasa cepat berlalu. Kalimat demi kalimat bergantian keluar dari bibirku dan bibirmu seperti hembusan angin yang tiada terhenti. Percakapan yang diawali basa-basi yang basi semakin lama semakin membuatku pening. Entah kenapa aku semakin tak bisa menikmati kalimat demi kalimat yang terus membanjiri telingaku. Sanggahan dan nasehatku seakan membentur dinding gelombang, menahannya untuk tetap mengembara di angan-angan tanpa harus kau sesapi dengan hati. Jaring-jaring perasaanku menangkap adanya kesan kamu tak ingin setiap kata yang meluncur dari bibirmu untuk didebat. Kamu ingin aku untuk mengikuti segala maumu, tanpa kamu ingin tahu kenapa aku menentang inginmu. Capuccino, banana splitz dan kentang goreng yang menemani kita nyaris tak tersentuh, hanya sekali aku menghirup nikmatnya Capuccinoku, sementara banana Splitz-mu kau biarkan teronggok di meja, mencairkan ice cream yang menjadi toppingnya. Kisah pertalian yang orang tuamu niatkan sudah tak mungkin lagi kita tentang. Mulai kini kamu sudah terikat pada sosok lelaki lain, sosok yang pastinya bukan aku. Aku hanyalah sosok asing bagi keluargamu. Asing, bukan karena mereka tidak mengenalku atau keluargaku. Mereka mengenalku dan keluargaku sangat baik. Tapi masalah yang tak pernah terpecahkan di masa lalu membuat keluarga kita terberai. Masalah ego dan keangkuhan yang bersinggungan itu memaksa kita menapaki jalan terjal. Jalan terjal yang awalnya kita yakini akan membawa kita menuju puncak asmara, meski kita menjalaninya secara terselubung. “ Kita bertemu lagi nanti untuk membahas masalah ini. Niatanmu untuk mengajakku lari agar mendapat restu dari mereka akan aku pertimbangkan. Sekarang mari kita pikirkan masalah ini baik-baik. Aku tak ingin ada sesal di antara kita kelak. “ Aku berdiri. Tanpa menunggu pendapat darimu aku berlalu. Pintu keluar sudah melambaikan tangan ke arahku, dia ingin aku segera meninggalkanmu, meninggakan segala keruwetan yang kamu bawa dan sampaikan. _ _ _ Langit-langit kamar seakan mengadiliku. Seperti ada gelombang kalimat yang terus mengalir dari sana, memaksa mataku untuk terus terbuka dan tak mau terpejam. Antara kalimat yang memintaku realistis dengan apa yang aku hadapi dan kalimat yang inginkanku untuk membawamu lari dari kota ini silih berganti bertamu, menjejali hatiku dengan kekalutan. Sudah seminggu waktu berlalu sejak pertemuan itu, seminggu lagi menjelang pernikahanmu, tapi aku belum bisa membuat keputusan. Sejak pertemuan terakhir kita, aku bertingkah layaknya detektif, mengendus keberadaan Ricky, sosok yang akan dijodohkan denganmu. Tempatnya merintis usaha selalu aku kunjungi, hanya untuk melihat keseharian sosok yang telah merebut hati kedua orang tuamu. Cerita tentangnya tak ada yang negatif. Rekan kerja selalu mengapreasiasi usaha dia untuk melayani setiap permintaan yang ada, sementara karyawannya memeuji dia sebagai sosok yang baik, memperlakukan karyawan sejajar layaknya partner kerjanya juga. Dia lurus, tak ada kisah wanita yang bersinggungan dengan hidupnya selain ibu-nya yang kini hidup serumah dengannya. “ Dia lelaki bertanggung jawab yang jauh lebih baik dariku. “ Esok kita akan bertemu, pertemuan yang akan menentukan kita seperti apa. Apakah akan terus bersama ataukah bermusuhan seperti apa yang keluarga kita alami saat ini. Ya perseteruan abadi orang tua kita terus menghantuiku, tapi bukan hanya hal itu yang membuatku tercenung. Kalimat yang memintaku realistis semakin keras menyambar, menyadarkan betapa besarnya dinding yang ada di antara kita. Aku berdiri, berjalan menuju meja dan menyapa buku catatan tentang perjalanan yang pernah kita lalui bersama. “ It’s over. “ Usai kutuliskan kalimat itu, kututup buku bersampul hitamku. Gembok kecil yang biasanya hanya terkait salah satu bagian kubuka. Kukaitkan gembok itu pada kedua sisi buku dan aku menguncinya rapat-rapat, serapat keinginanku yang baru saja kubulatkan. _ _ _ Hilangnya butiran air yang tadi menghiasi botol air mineral di tanganku, adalah gambaran jedah waktu perbincangan aku dan kamu. Tatap-tatap mata kosong, desah nafas tanpa harapan dan gerutu keputusasaan yang menggantung dari bibirmu cukup menyiksaku. Tapi hatiku sudah bulat, niatku pun tak akan luntur tersapu deburan ombak yang sedari tadi menggempur pantai, aku memilih meninggalkanmu. “ Yana, aku tahu ini berat untukmu dan juga untukku. Tapi ini harus aku lakukan.” Aku mencoba membuka kembali percakapan yang terhenti. Aku masih sempat melihat butiran air mata yang kembali mengalir dari pipimu. Tapi aku tak mau menarik kepalamu agar kembali tersandar di bahuku, seperti dulu pernah aku lakukan. “ Yana, kamu mempunyai keluarga yang begitu mencintamu, begitu menyayangimu. Sementara aku hanyalah sosok yang datang kemudian, saat kuncupmu perlahan merekah. Aku mencintaimu dan aku menyayangimu lebih dari yang pernah kamu bayangkan. Tapi aku tak bisa mencabutmu dari akar yang selama ini menghidupi. Dirimu laksana bunga yang paling kucinta, mana mungkin aku akan membiarkan terpetik tangan ini. Karena aku yakin jika sampai kamu terpetik tanganku, sesudahnya kamu akan layu dan tak akan berkembang lagi. “ aku diam sejenak. Kucoba menata nafasku, agar kalimat-kalimat yang mengalir sesudah ini tak tercekat di tenggorokan, agar debaran hatiku yang menahan emosi tak lagi mampu kau rasai. “ Yana, turuti apa yang orang tuamu mau. Restu mereka adalah restu Tuhan. Ridho mereka ada ridho Tuhan. Kita sudah cukup berjuang untuk mendapatkan restu mereka, kita sudah cukup berdo’a mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi takdir tak bisa dilawan, mungkin inilah jalan yang telah kita tuliskan sebelum kita terlahir. “ “Arya, kenapa kamu menjadi lemah begini? Kemana keberanian yang dulu begitu aku kagumi darimu? Apakah hanya segini kemampuan dan kemauanmu untuk berjuang demi aku? “ “ Yana, ini bukan tentang keberanian, bukan pula tentang kemampuan dan kemauanku untuk memperjuangkanmu. Ada hal lain yang selama ini tak mampu aku pahami dan aku mengerti. Kamu selalu bilang jika kamu mencintai dan menghargai ibumu dan kamu tahu bahwa yang orang yang paling berkeinginan menjodohkanmu dengan Ricky adalah ibumu. Kini kamu begitu menentang perjodohan itu. Aku membayangkan andainya aku berada di posisi seperti Ibumu, aku pasti kecewa dengan apa yang kamu lakukan bahkan jika sampai kamu benar-benar lari darinya. Kamu pernah bilang jika kamu lebih menyayangi Ibumu dan kata itu masih hangat dalam ingatanku, tapi kini kamu malah ingin meninggalkannya demi aku yang baru 3 tahun dekat denganmu. Aku takut kedepannya kamu akan memperlakukanku sama seperti yang ibumu alami saat ini. “ “ Arya…!” “ Yana, turuti perjodohan ini. Aku yakin ini yang terbaik untukmu. Biarkan aku berlalu dengan kenangan tentangmu. Aku tahu Ricky jauh lebih baik dariku, jadi terimalah dia apa adanya. Dia lebih sempurna dibanding aku. Dan aku yakin dia mampu membimbingmu lebih baik, menjagamu sebagaimana bunga yang tak semestinya terpetik dari tangkainya, hingga nanti usia akan meluruhkan daunmu satu persatu hingga akhirnya kamu mengering. Aku tak ingin membiarkanmu layu karena kesalahan yang bisa aku cegah. Kembalilah ke orang tuamu, ikuti apa yang mereka mau, aku akan selalu berdoa untuk kebaikan dan kebahagianmu. “ Aku berdiri, kutepiskan tanganmu dan berlalu. Tangisanmu yang mengiringi setiap langkahku tak mampu memaksaku berhenti. Aku terus menjauh. Tanganku menuliskan sebuah kalimat permintaan pada Ricky agar segera menjemputmu di pantai ini, pantai terakhir pertemuan kita. Aku tak akan kembali ke pantai ini, pesawat yang akan membawaku ke kota lain telah menantikanku. Aku berjanji tak akan kembali jika hanya untuk membuka kembali diary hitam yang telah terkunci di sudut kamarku. Denpasar.03122012.1605 Masopu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H