Mohon tunggu...
Agung Firstianto
Agung Firstianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Postgraduate Universitas Mercu Buana

NIM: 55522110022 | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. | Mata Kuliah: Pajak Internasional | Program Studi: Magister Akuntansi | Jurusan: Akuntansi Pajak | Fakultas: Ekonomi Bisnis | Universitas: Universitas Mercu Buana |

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Pajak Berganda Internasional dan Rendahnya Tax Ratio Indonesia

8 Oktober 2023   14:09 Diperbarui: 8 Oktober 2023   14:11 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Wikipedia The British Virgin Islands

Untuk mengatasi fenomena pajak berganda internasional, Pemerintah Indonesia terus melakukan perbaikan peraturan perpajakan, baik dengan cara menjajaki kerjasama dengan negara - negara mitra maupun melakukan perbaikan internal dalam konteks perundang - undangan. Perbaikan ini berguna untuk memberikan legal standing yang komprehensif dalam mengatasi penghindaran pajak berganda yang terjadi di Indonesia. 

Indonesia sendiri sudah memiliki tax treaty (perjanjian perpajakan) dengan 71 negara mitra pajak. Perjanjian perpajakan ini memberikan kepastian berupa payung hukum yang bersifat lex specialis untuk mengeliminasi pengenaan pajak berganda. Perjanjian perpajakan yang dilakukan Indonesia juga merupakan sebuah bentuk dukungan untuk meningkatkan arus perdagangan dan memperbaiki iklim investasi yang ada. Sesuai dengan substansi dari perjanjian perpajakan, pemerintah mengatur lebih lanjut mengenai tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda melalui Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor PER-25/PJ/2018. 

Pada marwahnya, PER-25/PJ/2018 bermaksud untuk memberikan penyederhanaan dan kemudahan administrasi perpajakan, memberikan kepastian hukum, dan untuk mencegah penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda. Poin menarik dalam PER-25/PJ/2018 adalah PER-25/PJ/2018 memberikan kemudahan untuk mengidentifikasi subjek pajak. Kemudahan yang dimaksud tersebut dalam bentuk Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri (SKD WPLN). 

Dalam pasal 4, dijelaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri wajib memberikan SKD WPLN dalam bentuk formulir Directorate General of Taxes (DGT) Form yang diisi oleh WPLN dan disahkan oleh pejabat berwenang di negara yurisdiksi. Adapun Direktorat Jenderal Pajak juga memberikan kemudahan dengan memperbolehkan penggantian atas "pengesahan" formulir DGT dengan memberikan Certificate of Residence (COR) sebagai bentuk pengesahan. Penggunaan Formulir DGT ini tentu dapat memudahkan interpretasi atas pengenaan pajak yang akan dilakukan.

Merujuk pada konsep penghindaran pajak berganda, fenomena yang muncul dalam pajak berganda internasional justru adalah double non - taxation atau non - pengenaan pajak secara berganda, bukan double taxation seperti yang dimaksudkan. Double non - taxation merujuk pada transaksi atau aktivitas ekonomi yang tidak dikenakan pajak pada yurisdiksi manapun yang disebabkan karena adanya perjanjian pajak berganda. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan local tax regulation atau regulasi pajak lokal yang ada pada setiap negara, dan diakomodasi lebih lanjut dalam perjanjian perpajakan internasional. 

Perbedaan - perbedaan pada peraturan pajak ini dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk memaksimalkan keuntungan yang mereka miliki dengan cara mengecilkan beban pajak mereka, dengan demikian fenomena double non - taxation lahir. Bagian menarik di dalam konteks double non - taxation yaitu bahwa double non - taxation dapat berupa hal yang legal di kedua negara yurisdiksi yang dimaksud untuk dilakukan. Hal tersebut terjadi karena memang terdapat celah hukum / loophole dalam peraturan perpajakan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan double non - taxation. Adapun fenomena double non - taxation dapat dicontohkan secara sederhana sebagai berikut:

"Agung Agung Agung Limited merupakan wajib pajak badan pada yurisdiksi negara X, sedangkan Firstianto Firstianto Firstianto Limited, yang merupakan anak usaha dari Agung Agung Agung Limited, adalah wajib pajak badan pada yurisdiksi negara Y. Setiap tahun, Firstianto Firstianto Firstianto Limited harus membayar bunga, membayar royalti, dan membayar hak cipta ke Agung Agung Agung Limited sebagai bentuk transaksi usaha. Transaksi usaha ini merupakan transaksi usaha yang wajar dan normal dalam kegiatan bisnis secara umum. 

Dengan asumsi satu tahun masa pajak, diketahui bahwa Firstianto Firstianto Firstianto Limited ternyata mengalami kerugian sehingga Firstianto Firstianto Firstianto Limited tidak dikenakan pajak penghasilan badan pada yurisdiksi negara Y. Hal tersebut wajar karena apabila tidak ada laba yang dapat dikenakan pajak, maka Firstianto Firstianto Firstianto Limited tidak membayar pajak. 

Adapun Agung Agung Agung Limited yang merupakan wajib pajak badan pada yurisdiksi negara X membukukan laba fantastis namun secara 'kebetulan', tarif pajak badan usaha pada yurisdiksi negara X adalah 0%. Dengan demikian, Agung Agung Agung Limited dan Firstianto Firstianto Firstianto Limited memanfaatkan double non - taxation untuk mengurangi beban pajaknya dan memaksimalkan keuntungannya."

Berdasarkan contoh sederhana di atas, terlihat secara jelas bahwa segala aktivitas dan transaksi bisnis berupa pembayaran bunga, pembayaran royalti, dan pembayaran hak cipta yang dilakukan satu perusahaan ke perusahaan lainnya adalah kegiatan transaksi bisnis yang sah dan legal, tanpa melanggar undang - undang apapun. Namun contoh yang diberikan di atas memperlihatkan bentuk sederhana mengenai betapa mudahnya double non - taxation terjadi dan betapa sulitnya double taxation dilakukan. Praktik double non - taxation tersebut dilakukan dengan perencanaan pajak oleh wajib pajak yang tentunya memiliki skala operasi pada tingkat global, sehingga dapat "mengatur" transaksi dan aktivitas ekonomi tersebut.

Pada hakikatnya, dengan agresivitas perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang memiliki skala kapasitas operasi secara global, mereka dapat "secara legal" menikmati atau mengakses manfaat pajak yang tidak ditujukan untuk mereka. Hal ini terjadi karena sebagian besar wajib pajak tersebut tidak bertempat tinggal di negara mana pun yang menjadi bagian dari konvensi perpajakan atau bertempat tinggat di negara yang memiliki karakteristik khusus sebagai "surga pajak". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun