Pajak adalah nilai ekonomi yang diterima oleh pemerintah dan otoritas pajak di bawah pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh undang-undang (Cetin Gerger et al., 2019). Secara fungsional, pajak tidak hanya berfungsi sebagai penerimaan pemerintah guna membiayai belanjanya, melainkan juga untuk berkontribusi pada redistribusi pendapatan, stabilisasi ekonomi, dan alokasi sumber daya, yang secara simultan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi (Stoilova, 2017). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang memiliki fungsi strategis untuk menopang pelbagai aktivitas ekonomi suatu negara.
Dengan merujuk pada data makroekonomi, jumlah penerimaan negara dalam aspek perpajakan di Indonesia selalu signifikan dibanding aspek penerimaan negara lainnya (Badan Pusat Statistik, 2022). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2022), realisasi pendapatan negara dari aspek penerimaan pajak dari tahun 2018 hingga tahun 2022 dibanding penerimaan negara lainnya selalu di atas 75 persen. Dengan melihat besarnya porsi penerimaan pajak pada penerimaan negara, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang besar terhadap pajak sebagai penerimaan utama negara.Â
Hilangnya potensi penerimaan penerimaan pajak negara yang diakibatkan oleh penghindaran pajak dilakukan oleh Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Tax Justice Network, diketahui pada tahun 2021 Indonesia mengalami kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar 2,27 miliar dollar Amerika Serikat atau ekuivalen dengan 34,05 triliun rupiah (Tax Justice Network, 2021).Â
Berdasarkan tabel potensi penghindaran pajak tahun 2021 terlihat bahwa kerugian dari kehilangan potensi penerimaan pajak yang berasal dari wajib pajak badan sebesar 2.210 juta dollar Amerika Serikat atau setara dengan 33,15 triliun rupiah. Wajib Pajak Badan memberikan kontribusi sebesar 97,36% dalam hilangnya potensi penerimaan pajak tahun 2021. Adapun Wajib Pajak Orang Pribadi memberikan kontribusi hilangnya potensi penerimaan pajak sebesar 2,64 persen yakni 60 juta dollar Amerika Serikat atau 0,9 triliun rupiah. Dengan mempertimbangkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki kemampuan yang rendah dalam meminimalisir hilangnya potensi penerimaan negara, dalam hal ini adalah penerimaan pajak. Cerminan tersebut menegaskan bahwa Indonesia harus meningkatkan kemampuannya dalam mengumpulkan pajak dengan memperhatikan aspek penghindaran pajak.Â
Secara umum, penghindaran pajak adalah cara yang digunakan untuk mengurangi beban pajak (Blaufus et al., 2016). Istilah penghindaran pajak perusahaan didefinisikan sebagai pengurangan kewajiban pajak perusahaan secara eksplisit (Annuar et al., 2014). Penghindaran pajak menjadi studi yang sangat penting karena penghindaran pajak membatasi kemampuan negara untuk mengumpulkan uang dan menerapkan kebijakan karena pembayar pajak menemukan cara untuk mengurangi basis pajak mereka.Â
Terdapat perbedaan secara konseptual antara penghindaran pajak (tax avoidance) dengan penggelapan pajak (tax evasion). Perbedaan konseptual antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak bergantung pada legalitas tindakan wajib pajak (Sandmo, 2004). Penggelapan pajak merupakan pelanggaran hukum. Adapun pelanggaran hukum yang dimaksud yaitu apabila wajib pajak tidak melaporkan penghasilan dari hasil usaha dan/atau modal yang pada intinya dikenakan pajak (penghasilan kena pajak sesuai dengan aturan undang-undang), maka Wajib Pajak tersebut melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga dapat dikenakan tindakan berupa sanksi administratif atau tindakan berupa penegakan hukum lainnya dari pihak yang berwenang. Dalam konteksi penggelapan pajak, Wajib Pajak khawatir akan kemungkinan tindakannya terdeteksi. Adapun penghindaran pajak masih berada dalam kerangka hukum undang-undang perpajakan yang bersifat hukum legal. Hal ini terdiri dari pemanfaatan celah dalam undang-undang perpajakan untuk mengurangi kewajiban perpajakan seseorang. Contoh dari penghindaran pajak yakni seperti mengubah pendapatan tenaga kerja menjadi pendapatan modal yang dikenakan pajak dengan tarif lebih rendah (Sandmo, 2004).
Wajib pajak memiliki pilihan untuk patuh atau tidak patuh ketika mendeklarasikan pajaknya. Allingham & Samo (1972) mengasumsikan bahwa perilaku wajib pajak berpegang pada aksioma Von Neumann-Morgenstern mengenai perilaku di bawah ketidakpastian. Utilitas marjinal diasumsikan berada positif dimanapun dan cenderung menurun, sehingga seorang individu bertendensi menghindari risiko (risk averse).Â
Struktur model Allingham Sandmo bersandar pada momentum Wajib Pajak ketika mereka mendeklarasikan pajaknya, yaitu mengenai berapa pajak yang harus dideklarasikan dan berapa pajak yang harus digelapkan (tidak dideklarasikan). Berdasarkan struktur model Allingham Sandmo, simplifikasi yang tidak realistis terjadi karena struktur model Allingham Sandmo menganggap semua pendapatan yang telah dimiliki Wajib Pajak tidak diketahui oleh fiskus.Â