Di sudut halaman, kau berdiri tegak,
Gentong tua, saksi bisu kisah beranak pinak.
Permukaanmu penuh retakan, ukiran waktu yang tak terbantahkan,
Menemani perjalanan hidup, dari generasi ke generasi berkelanjutan.
Air segar yang kau tampung, sumber kehidupan yang tak tergantikan,
Menyejukkan dahaga, membasuh lelah di kala terik mentari memancarkan.
Dari tangan ke tangan, kau terus menyapa,
Menjadi bagian tradisi, budaya yang tak lekang oleh masa.
Pepatah Jawa terukir indah, "Urip iku mung mampir ngombe,"
Hidup ini hanya sekejap, singgah sejenak untuk melepas dahaga.
Seperti air yang kau tampung, mengalir tanpa henti,
Mengalirkan cerita, kenangan, dan pembelajaran yang tak ternilai.
Gentong tua, kau bukan sekadar benda mati,
Kau adalah simbol kearifan lokal, warisan leluhur yang patut dihormati.
Mengajarkan kita tentang kesederhanaan, arti hidup yang sesungguhnya,
Bahwa kebahagiaan tak terletak pada harta benda, tapi pada rasa syukur dan cinta.
Di era modern yang serba cepat dan instan,
Keberadaanmu kian terancam punah, digantikan plastik dan teknologi canggih.
Namun, semangatmu takkan pernah padam,
Teruslah menginspirasi, mengingatkan kita tentang nilai-nilai luhur yang terlupakan.
Marilah kita jaga dan lestarikan gentong tua,
Simbol budaya dan tradisi yang tak ternilai harganya.
Agar kisahnya terus terukir, diwariskan kepada generasi penerus,
Bahwa hidup ini singkat, manfaatkanlah setiap momen dengan penuh makna dan kebahagiaan.
Gentong tua, kau adalah guru terbaik,
Mengajarkan kita tentang arti hidup yang sesungguhnya,
Bahwa kebahagiaan sejati datang dari kesederhanaan dan rasa syukur,
Hidup ini hanya sekejap, nikmatilah setiap tetes air dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H