Senja kelabu menyelimuti kota,
Cahaya jingga tercoreng asap pabrika.
Di antara kerumunan orang yang bergegas pulang,
Ku lihat sapu tanganmu yang berwarna perang.
Sapu tangan itu lusuh, tak lagi berseri,
Namun kau genggam dengan erat di telapak tanganmu yang kekar.
Sesekali kau usap kening yang bermandikan keringat,
Jejak lelah dari hari yang panjang tak tergantikan.
Entah mengapa sapu tangan itu menarik perhatianku,
Lebih dari gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.
Mungkin karena di dalamnya tersimpan cerita,
Cerita perjuangan, ketabahan, dan cinta yang tak terperi.
Mungkin sapu tangan itu pemberian seseorang tersayang,
Istri, anak, atau ibunda yang selalu mendoakanmu.
Setiap usapan di keningmu, seolah sapu tangan itu membawa pesan cinta,
Kekuatan untuk terus melangkah meski penatnya dunia.
Di tengah keramaian kota yang riuh,
Kutemukan kedamaian di senja yang merayap.
Langit berwarna jingga, memeluk bangunan tinggi,
Dan angin berbisik lirih, membawa cerita sepi.
Di tanganku, kuselipkan sapu tanganmu,
Yang lembut dan harum, seperti kenangan yang indah.
Setiap lipatan mengandung cerita,
Tentang kita yang berjalan bersama di bawah senja.
Dalam sapu tanganmu, terpatri kehangatan,
Seperti sinar mentari yang memeluk langit.
Ia mengingatkanku pada setiap momen bahagia,
Yang kita lewati bersama, di antara gedung-gedung tinggi.
Di balik jendela kaca, cahaya senja memantul,
Menyinari jalan-jalan yang ramai.
Namun di dalam hatiku, hanya ketenangan yang kurasakan,
Saat kuselipkan sapu tanganmu di saku jasku.
Senja di kota membawa kedamaian yang dalam,
Menyiratkan ketenangan di tengah kesibukan.
Dan sapu tanganmu, bagai penghapus lelah,
Mengembalikan kedamaian dalam hatiku.
Senja semakin larut, lampu-lampu kota mulai berkelap-kelip,
Engkau menghilang ditelan kerumunan orang.
Namun sapu tanganmu, lusuh dan berwarna perang,
Tetap membekas di benakku, sebagai pengingat.