Punggung Membungkuk: Mencari Restu Senja
Punggung renta membungkuk tak henti,
Memungut asa di sela puing-puing sunyi.
Tongkat kayu setia menemani,
Mencari sesuap nasi di penghujung hari.
Punggung membungkuk, langkah ragu melangkah,
Mencari restu senja di ujung hari yang panjang.
Puisi pemulung tua, serombong kardus berjejer,
Tuk menukar sesuap nasi, di tengah gemuruh kota.
Di antara debu dan asa, dia melangkah perlahan,
Beban hidupnya di punggung yang membungkuk.
Kardus-kardus itu saksi bisu kehidupannya,
Serombong harap yang tak pernah pudar di hatinya.
Pemulung tua, berdiri tegar di tengah deru kota,
Tak kenal lelah, tak kenal putus asa.
Di matanya terukir cerita-cerita masa lalu,
Di hatinya tersimpan harapan akan masa depan.
Serombong kardus, bukanlah hanya sampah,
Tapi potongan hidup yang berharga baginya.
Menukar dengan sesuap nasi, tuk bertahan hidup,
Pemulung tua tetap tegar di bawah terik matahari.
Punggung membungkuk, tapi hati tetap tegar,
Mencari restu senja di ujung perjalanan.
Puisi pemulung tua, menyiratkan kehidupan yang penuh makna,
Di antara serombong kardus, ada keajaiban yang tersimpan.
Serombongan kardus lusuh di pundaknya,
Hasil jerih sepanjang senja.
Mata keriput menerawang jauh,
Mencari pembeli tuk sesuap bekal rumah.
Jalanan kota saksi bisu langkahnya,
Menyimpan kisah getir perjuangan.
Takdir yang getir tak bisa dihindar,
Mencari sesuap nasi di usia senja.
Cahaya senja mulai meredup,
Membentangkan langit dengan warna jingga sendu.
Harapan semakin pupus,
Belum genap setoran untuk sesuap sesuap itu.
Namun di balik renta punggungnya,
Tersimpan ketangguhan yang luar biasa.
Mencari nafkah dengan penuh hormat,
Meski terkadang dunia tak melihatnya.
Doa dipanjatkan pada senja yang teduh,
Mencari restu tuk sesuap nasi yang menunggu.
Semoga lelahmu terbayar lunas,
Wahai pemulung tua, pahlawan tanpa tanda jasa.