Pemulung Pagi: Mengais Sebutir Beras Menanti Sinar Mentari
Di tepi jalanan, langkah ringan menghampiri,
Pemulung pagi dengan hati yang terbuka.
Mengais sebutir beras, menanti sinar mentari,
Harapannya membuai dalam cahaya yang merona.
Tinggallah dia di bawah langit biru membiru,
Dalam keheningan, suara langkahnya menggema.
Tiada mengeluh, tiada pula meratap pilu,
Hanya sebatang pena menari di atas kertas.
Pemulung pagi, penuh harap dalam setiap langkah,
Meski hidup menatapnya dari sisi gelap.
Dia percaya, suatu hari nanti akan tiba,
Sinar mentari menyapanya, mengubah jalan takdir.
Biarlah puisi ini menggema di sudut jalanan,
Sebagai nyanyian bagi yang tak pernah lelah.
Harapan di tepi jalanan, takkan pernah sirna,
Sebagai cahaya di tengah gelapnya dunia.
Langit masih gelap, ayam belum berkokok,
Langkah kaki mungil menapaki jalanan kota.
Seorang pemulung pagi, mengais rezeki,
Mencari sebutir beras di antara tumpukan sampah.
Tangannya kotor, bajunya lusuh,
Tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi.
Namun, semangatnya tak pernah padam,
Mencari nafkah untuk keluarga tercinta.
Dia mengais sebutir demi sebutir beras,
Memungut botol plastik dan kardus bekas.
Setiap tumpukan sampah dia periksa,
Berharap menemukan harta karun yang tersembunyi.
Sinar mentari mulai menyingsing,
Menyinari wajahnya yang penuh harap.
Dia terus bekerja, tak kenal lelah,
Demi sesuap nasi untuk anak dan istri.
Dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
Membersihkan kota dari sampah yang berserakan.
Dia adalah pemulung pagi, mengais rezeki,
Menanti sinar mentari membawa berkah.
Marilah kita hargai para pemulung,
Mereka adalah pahlawan yang membersihkan kota.
Berikan mereka senyuman dan salam,
Sebagai tanda terima kasih atas kerja keras mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H