Mohon tunggu...
Agung Christanto
Agung Christanto Mohon Tunggu... Guru - guru SMA
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dari Nol Menuju Puncak, Berbagi Inspirasi dengan Keteguhan Hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pemulung Pagi: Mengais Sebutir Beras Menanti Sinar Mentari

26 Maret 2024   05:56 Diperbarui: 26 Maret 2024   05:58 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pemulung Pagi: Mengais Sebutir Beras Menanti Sinar Mentari


Di tepi jalanan, langkah ringan menghampiri,
Pemulung pagi dengan hati yang terbuka.
Mengais sebutir beras, menanti sinar mentari,
Harapannya membuai dalam cahaya yang merona.

Tinggallah dia di bawah langit biru membiru,
Dalam keheningan, suara langkahnya menggema.
Tiada mengeluh, tiada pula meratap pilu,
Hanya sebatang pena menari di atas kertas.

Pemulung pagi, penuh harap dalam setiap langkah,
Meski hidup menatapnya dari sisi gelap.
Dia percaya, suatu hari nanti akan tiba,
Sinar mentari menyapanya, mengubah jalan takdir.

Biarlah puisi ini menggema di sudut jalanan,
Sebagai nyanyian bagi yang tak pernah lelah.
Harapan di tepi jalanan, takkan pernah sirna,
Sebagai cahaya di tengah gelapnya dunia.
Langit masih gelap, ayam belum berkokok,
Langkah kaki mungil menapaki jalanan kota.
Seorang pemulung pagi, mengais rezeki,
Mencari sebutir beras di antara tumpukan sampah.

Tangannya kotor, bajunya lusuh,
Tubuhnya kurus, wajahnya pucat pasi.
Namun, semangatnya tak pernah padam,
Mencari nafkah untuk keluarga tercinta.

Dia mengais sebutir demi sebutir beras,
Memungut botol plastik dan kardus bekas.
Setiap tumpukan sampah dia periksa,
Berharap menemukan harta karun yang tersembunyi.

Sinar mentari mulai menyingsing,
Menyinari wajahnya yang penuh harap.
Dia terus bekerja, tak kenal lelah,
Demi sesuap nasi untuk anak dan istri.

Dia adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
Membersihkan kota dari sampah yang berserakan.
Dia adalah pemulung pagi, mengais rezeki,
Menanti sinar mentari membawa berkah.


Marilah kita hargai para pemulung,
Mereka adalah pahlawan yang membersihkan kota.
Berikan mereka senyuman dan salam,
Sebagai tanda terima kasih atas kerja keras mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun