pesepeda tua pagi, menembus hujan
Pengasingan Nafkah Pagi
Di pagi yang dingin, di bawah hujan yang deras,
Pesepeda melaju tanpa kenal lelah.
Keriput dan kendor tak menghalangi langkahnya,
Bara di tangannya tetap menyala, membara dalam semangat yang tak pernah padam.
Meski tubuhnya lelah dan basah kuyup,
Dia terus melaju, mengejar matahari terbit.
Setiap putaran pedal, setiap hembusan nafas,
Menyiratkan harapan akan hari esok yang lebih baik lagi.
Di atas sepedanya yang tua,
Engkau kayuh roda menembus kabut pagi.
Hujan tak dihiraukan, dingin tak dipedulikan,
Demi secercah nafkah untuk keluarga tercinta.
Kerutan di wajahmu tak kau hiraukan,
Kendornya otot tak kau tangisi.
Bara semangat di tanganmu tetap menyala,
Bersama fajar yang kau nanti dengan penuh asa.
Setiap kayuhanmu adalah doa,
Setiap tetes keringatmu adalah harapan.
Demi hari esok yang lebih baik,
Demi senyuman di wajah anak-anak tercinta.
Pengasingan nafkah pagi, mereka menyebutnya,
Namun bagi pesepeda, itu adalah kebebasan.
Kebebasan untuk merasakan udara segar pagi,
Dan merasakan semangat hidup yang mengalir dalam dirinya.
Di bawah hujan yang tak peduli,
Pesepeda terus melaju dengan tekad yang teguh.
Dia tahu bahwa di ujung perjalanan,
Ada sinar mentari yang menyambut dengan hangat.
Jadi teruslah melaju, pesepeda,
Dengan bara yang tetap menyala dalam dirimu.
Karena di setiap putaran pedal, di setiap tetes hujan,
Ada kekuatan dan harapan untuk hari esok yang lebih baik lagi.
Engkau adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
Pejuang keluarga yang tak kenal lelah.
Pengabdianmu tak ternilai harganya,
Kasih sayangmu tak tergantikan oleh apa pun.