Terpenjara Dinginnya Hujan
Langit kelabu menyelimuti bumi,
Hujan turun tanpa henti.
Derasnya air bagai tirai yang rapat,
Memenjarakanku dalam dingin yang tak terkira.
Jendela kamar menjadi batas pandang,
Menyaksikan dunia yang kabur oleh air hujan.
Suara tetesan yang tiada henti,
Menciptakan melodi kesepian yang mencekam.
Tubuhku menggigil kedinginan,
Selimut tak mampu menghangatkan jiwa.
Rasa rindu pada kehangatan matahari,
Menyiksa diri dalam kesendirian yang sunyi.
Hujan terus turun tanpa henti,
Seperti air mata yang tak tertahankan.
Memendam rasa sedih dan kecewa,
Dalam penjara dingin yang tak terjamah.
Namun, di balik awan yang kelabu,
Aku masih melihat secercah cahaya.
Harapan akan datangnya hari yang cerah,
Ketika hujan reda dan matahari kembali bersinar.
Aku tahu, aku tak sendirian.
Hujan ini pun akan berlalu.
Dan aku akan kembali merasakan kehangatan,
Di bawah sinar mentari yang tulus dan bersahabat.
Di bawah rintik dingin hujan yang membasahi,
Senja terhalang oleh awan kelabu yang mengepung.
Hatiku merasa terperangkap dalam kesunyian,
Di antara tetes-tetes yang menari di jendela.
Rindu akan sinar senja yang hangat memudar,
Terhempas oleh hujan yang menutupinya dengan lembut.
Langit yang dulu berwarna jingga dan merah,
Kini tenggelam dalam kelamnya awan yang tebal.
Di dalam gelap, aku merenungkan kenangan,
Yang tersembunyi di balik riak-riak air yang jatuh.
Hujan menjadi pengiring kesepian di hati,
Mengingatkanku pada kepergianmu yang menyakitkan.
Namun meski senja terhalang oleh dinginnya hujan,
Ada keindahan tersendiri dalam kesedihan yang tercipta.
Seperti puisi yang terukir dalam butiran-butiran air,
Merangkai cerita tentang kepergian dan perpisahan.
Maka biarlah hujan tetap mengalir,
Biarlah senja terhalang oleh awan yang kelabu.
Di dalam gelap, aku akan mencari cahaya,
Dan menemukan kedamaian di tengah hujan yang membasahi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H