Mentari terbit, sinarnya redup sayu,
Langit mendung, seolah ikut berkabung pilu.
Hari minggu yang biasanya riuh ceria,
Kini hening, berteman sunyi yang tak menyapa.
Bangku taman yang biasa penuh tawa dan cerita,
Kini kosong, tak ada senyum yang terlukis di sana.
Ayunan yang biasa berayun riang gembira,
Kini diam, tak ada sorak anak kecil yang berseri.
Memori berkelebat, teringat janji yang dulu terucap,
Berjalan bersama di hari minggu, berbagi cerita dalam peluk.
Namun kini, kau jauh di sana, entah di mana,
Meninggalkan luka dan hampa yang tak terkira.
Angin berembus pelan, membawa desau kesedihan,
Seakan berbisik, "Kebahagiaan tak selamanya bertahan."
Air mata mengalir, tak kuasa kutahan,
Membasahi sunyi di hari minggu yang kelam.
Di malam yang sunyi,
Hatiku merintih sendiri,
Diiringi angin sepi,
Menyapa kerinduan yang terpendam.
Malam minggu datang lagi,
Tanpa senyum yang menghiasi,
Hanya bayang gelap menyelimuti,
Kisah sedih yang terpendam di hati.
Di bawah rembulan yang pucat,
Aku merenung sendiri,
Kenangan tentangmu menghantui,
Seperti bayang yang tak pernah pergi.
Namun di lubuk hati, secercah harapan masih menyala,
Bahwa suatu saat nanti, kita kan bertemu kembali, walau entah kapannya.
Hingga saat itu tiba, kusimpan kenangan manis dalam dada,
Dan terus melangkah, meski hati masih bersedih di hari minggu yang nestapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H