Penyair Kebrangasan Ditelan Waktu
Di atas mimbar puisi yang lapuk,
Berdiri penyair dengan suara serak.
Kata-katanya bagai cambuk,
Mencambuk rasa yang terpendam.
Kebrangasannya menggema di ruang hampa,
Menantang kemapanan yang tak tersentuh.
Ia lantunkan syair perlawanan,
Bagi mereka yang terbungkam dan terlupakan.
Namun, waktu terus menggilas,
Membawa perubahan dan pergeseran.
Suara penyair kebrangasan perlahan meredup,
Ditelan arus zaman yang tak terelakkan.
Apakah puisinya masih relevan?
Ataukah hanya menjadi kenangan masa lalu?
Pertanyaan itu menggantung di udara,
Menunggu jawaban dari generasi yang baru.
Mungkinkah api kebrangasannya bangkit kembali?
Di tangan para penyair muda yang penuh semangat.
Ataukah akan terkubur selamanya,
Bersama jejak langkahnya yang perlahan memudar.
Hanya waktu yang dapat menjawabnya,
Apakah puisi kebrangasan masih memiliki tempat.
Di dunia yang terus berubah ini,
Di mana kebenaran dan keadilan masih diperjuangkan.
Di antara hiruk pikuk zaman yang terus berubah,
Penyair kebrangas berdiri dengan pena di tangan.
Namun waktu terus menggilas, tak kenal ampun,
Menghempaskan kata-kata dalam lautan perubahan.
Era digitalisasi membawa angin baru,
Mengubah cara kita berinteraksi dan berkomunikasi.
Namun di tengah laju teknologi yang tak terkendali,
Penyair kebrangas tetap setia pada nilai-nilai kemanusiaan.
Pena mereka menari di atas kertas kosong,
Mengukir makna dalam setiap goresan yang indah.
Meski zaman berubah dengan cepatnya,
Karya-karya mereka tetap abadi, menyentuh hati yang terpukul.
Di tengah gemerlap dunia maya yang serba cepat,
Penyair kebrangas menjadi pencerah dalam kegelapan.
Dengan kata-kata mereka, kita merenung dan merasa,
Menghadapi zaman dengan bijak dan penuh pengertian.