Kapan kau reda dari hujamkan dan tangismu, pertiwiku,
Seperti bunga yang mekar setelah badai berlalu.
Dalam puisi ini, suara hati menantikan kelegaan,
Menyambut kedamaian di dalam relung jiwa yang rapuh.
Hujamkanlah pedihmu dalam luka-luka,
Sebagai langkah pertama menuju pemulihan.
Dalam bait-bait puisi, ada panggilan kesembuhan,
Menggambarkan perjalanan untuk melampaui kepedihan.
Tangismu, gemuruh di malam yang sunyi,
Namun biarkan fajar membawa sinar harapan.
Dalam puisi ini, terukir cita-cita kebahagiaan,
Menantikan waktu di mana reda menggantikan hujaman.
Pertiwiku, tanah di mana kau menanamkan,
Beban berat dan air mata yang melanda.
Dalam puisi ini, terdengar doa untuk kedamaian,
Kapan kau reda, pertiwiku, dari hujamkan yang terlalu lama?
Biarkan puisi menjadi pelipur lara,
Mengiringi langkahmu menuju kesejukan.
Dalam reda yang tiba, terbentuk puisi bahagia,
Menyongsong pagi yang baru setelah hujaman malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H