Miskin permanen, nasib yang tercipta dalam bayangan,
Bagaikan bayu malam yang tak kunjung reda.
Dalam setiap langkah yang ditempuh tanpa arah,
Puisi miskin permanen terpahat di lorong kesengsaraan.
Rumah yang retak, jendela yang tak bertali,
Miskin permanen adalah puisi yang terlupakan.
Dalam kekurangan yang tak terhingga,
Terlukislah kisah kepahitan di setiap baitnya.
Namun, di dalam hati yang berserak puing kehidupan,
Mungkin ada kekayaan yang tak terukir oleh dunia.
Puisi ini adalah panggilan, untuk merangkul kasih dan kepedulian,
Mengubur luka miskin permanen dalam tindakan kebaikan.
Miskin permanen, sebuah puisi yang meminta harapan,
Agar matahari terbit di kegelapan keterpurukan.
Dalam setiap doa yang terucap, dan tindakan yang tulus,
Mungkin, puisi miskin permanen bisa berubah jadi pelangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H