Wisata Masa Lalu
Puisi ini aku tulis, Kekasih,
dengan kata yang dididik oleh jemarimu,
kata-kata yang pernah hidup
di sela tawa dan airmata kita.
Aku tulis di atas lembaran
yang terbentang antara
kesendirianku dan kepergianmu.
Aku ingat masa lalu—
ketika beban terberat hanyalah
tidur siang yang terasa seperti hukuman,
PR matematika yang tak pernah selesai,
dan langkah pulang yang selalu diiringi
sambutan gagang pengki di depan pintu,
tak pernah menyentuh kulit,
tapi konser marahnya menggema
di sepanjang jalan kenangan.
Ah, ngangenin!
Musim hujan waktu itu,
jiwa kecilku meronta,
berlari mengejar genangan,
menyibak dingin dengan hangatnya tawa.
Semesta begitu sederhana,
dan bahagia adalah bermain sampai senja
tanpa peduli dunia yang lebih besar menunggu.
Kini, aku hanyalah pelancong
di kota kecil memori,
mengunjungi reruntuhan masa lalu
dengan kerinduan yang telah dibasuh
oleh air matamu.
Puisi ini, Kekasih,
adalah titipan jiwa kecilku
untuk kembali pada waktu
di mana cinta pertama adalah hujan,
dan dunia hanya sejauh halaman rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H