Mohon tunggu...
Agung Budi Santoso
Agung Budi Santoso Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Saya belum bisa membuat biographical. Maaf ya...

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tongkat di Tangan Kiri, Sabit di Tangan Kanan

16 April 2015   09:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14291519601018129989


Rumput di pematang sawah memiliki penanganan yang berbeda dengan rumput di kebun, apalagi kebun yang sudah tidak terawat. Rumput dengan ketinggian yang hanya berkisar betis orang dewasa dengan kerapatan yang rendah cukup ditebas dengan sabit dengan tangan kanan. Jika tangan kanan lelah, bisa dibantu dengan tangan kiri dengan sama-sama menggenggam tangkai sabit tersebut. Cara memotongnya pun bisa dengan santai. Tidak perlu bersusah payah asalkan sabit yang digunakan cukup tajam untuk rumput tersebut.

Rumput yang sudah mencapai setengah tinggi orang dewasa atau lebih, memiliki cara penanganan yang sedikit berbeda. Selain sabit yang digunakan untuk memotong bagian bawah rumput, biasanya digunakan alat tambahan berupa tongkat di tangan kiri untuk menyibak rumput agar bisa terpotong dengan teratur. Tongkat tersebut didorong pada bagian tengah rumput, sehingga dengan mudah sabit memotong batang bawah rumput sebagai langkah finalnya. Begitu seterusnya sehingga hasilnya terlihat rapi dengan bertahap bisa diselesaikan dengan cepat. Berbeda sekali hasilnya jika hanya menggunakan satu tangan kanan sebagai pemegang sabitnya. Pekerjaan membersihkan rumput akan terasa lebih melelahkan bahkan dengan menggunakan dua tangan yang memegang sabit sekalipun. Hasil pun akan berantakan karena rumput akan terbang kemana-mana.

Metode yang paling cepat memotong rumput adalah menggunakan mesin pemotong rumput. Cukup sediakan bahan bakar, kemudian hidupkan mesin. Hasil pemotongan lebih rapi dan membutuhkan sedikit sekali tenaga dan waktu. Namun biaya yang digunakan biasanya lebih besar karena modal pembelian mesin dan bahan bakarnya. Efisiensi dan efektivitasnya sangat tergantung dengan luas areal yang akan dibersihkan dari rumput.

Bagaimanapun juga, ketiga metode diatas merupakan alat untuk mencapai satu tujuan, membersihkan rumput. Semua tergantung dengan rumput yang akan dihadapi, apakah hanya rumput di pematang sawah, ataukah rumput yang tinggi dengan luasan yang rendah, ataukah rumput yang seyogyanya sudah memerlukan modal yang tinggi untuk membeli sebuah alat pemotong rumput. Sangatlah tidak masuk akal jika kita membeli sebuah mesin pemotong rumput hanya untuk membersihkan rumput di pematang sawah, apalagi berasumsi bahwa rumput tersebut akan berkembang menjadi padang rumput sehingga mesin bisa efisien digunakan.

Berbeda penanganan rumput, berbeda pula penanganan pemenuhan kebutuhan beras secara nasional. Beras yang telah menjadi bahan pokok sebagian besar masyarakat indonesia akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Dilihat dari konsumsinya, tingkat konsumsi beras perkapita di Indonesia sudah mencapai 139.5 kg. tingkat konsumsi beras Indonesia ini lebih besar dua kali lipat dari konsumsi beras dunia yaitu pada angka 60 kg pertahun. Konsumsi ini akan terus bertambah seiring laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 persen pertahun. Jika tidak dilakukan perubahan pola pikir masyarakat terhadap konsumsi bahan pokok beras dan nonberas, konsumsi beras bukan tidak mungkin akan sulit untuk dipenuhi dengan produksi dalam negeri.

Kepopuleran beras yang menghasilkan nasi membuat beberapa daerah yang asalnya memiliki makanan lokal juga ikut beralih mengkonsumsi nasi. Masyarakat Papua dan Maluku mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian. Masyarakat Nusa Tenggara Timur, Madura, Jawa Bagian Selatan mengkonsumsi jagung dan ketela. Perlahan namun pasti masyarakat berganti mengkonsumsi beras seiring dengan introduksi beras ke masyarakat tersebut. Saat ini, lebih dari 90% penduduk Indonesia sudah membutuhkan beras. Tentunya hal ini menambah jumlah kebutuhan konsumsi dalam negeri diluar laju pertumbuhan penduduk.

Kebijakan swasembada beras dianalogikan seperti sebuah sabit. Sabit merupakan alat yang sederhana dan memiliki fungsi pokok memotong rumput akan sangat ringan jika menghadapi rumput di pematang sawah. Swasembada beras pun demikian, akan sangat ringan jika melakukan swasembada beras di daerah yang sudah merupakan sentral penghasil beras seperti daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur . Namun perlu dilakukan upaya pembantu jika daerah tersebut ternyata harus menopang kebutuhan daerah lain di seluruh Indonesia. Bukan tidak mungkin swasembada tersebut bisa dilakukan mengingat dari history yang telah kita lalui amat sangat dimungkinkan swasembada itu terwujud. Namun perlu diingat bahwa laju pertumbuhan luas lahan sawah tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk. Berdasarkan statistik pertanian 2013, laju penambahan luas lahan sawah hanya berkisar 0.48 persen ditambah dengan masalah serius yakni alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan di industri khususnya di Pulau Jawa yang selama ini menjadi sentral produksi beras. Selain laju pertumbuhan sawah yang lambat ancaman besar lainnya adalah perubahan iklim yang sewaktu waktu bisa mengancam produktivitas padi di seluruh Indonesia.

Oleh sebab itu, sudah saatnya tangan kiri tidak lagi bersama dengan tangan kanan membantu memegang sabit untuk membersihkan rumput kebutuhan. Tangan kiri harus bisa mandiri membantu sabit bisa menebas rumput kebutuhan secara efektif. Program diversifikasi bukan program pengganti swasembada beras, melainkan program partner yang sama-sama ingin menyukseskan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri. Diversifikasi akan bergerak menahan laju pertumbuhan kebutuhan beras secara nasional dengan cara merubah pola pikir masyarakat tentang bahan makanan pokok nonberas, seiring dengan gencarnya program swasembada beras dilakukan. Gerakan sinergis ini akan lebih menguntungkan seperti kerjasama yang dilakukan tongkat di tangan kiri dan sabit di tangan kanan. Gerakan keduanya akan menghasilkan upaya kerja yang lebih rapih dan bergerak secara pasti dengan minimalnya resiko yang dihadapi. Resiko perubahan iklim yang bisa menimbulkan menurunnya produksi beras akan ditutup dengan tanaman ubi-ubian yang lebih tahan terhadap kekeringan.

Potensi bahan makanan pokok nonberas yang dimiliki oleh Indonesia juga tidak kalah hebatnya dengan beras. Berdasarkan data statistik, Indonesia memproduksi jagung sebesar 18 juta ton di tahun 2013. Sedangkan produksi ubi kayu sebesar 23 juta ton. Angka ini sangat membantu produksi padi yang mencapai 71 juta ton. Setiap tanaman pangan memiliki penanganan yang berbeda. Tanaman jagung dan ubi kayu lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan padi. Belum lagi dengan sagu yang dimiliki oleh kawasan Indonesia bagian timur. Produksi minimal pati sagu kering di Maluku setiap tahunnya adalah 114.400 ton. Tanaman sagu memiliki kelebihan dibandingkan tanaman pangan lainnya yakni : hingga saat ini kita tinggal memanen tanpa harus menanam dan memelihara, pohon sagu dapat tumbuh dengan baik di rawa-rawa, daerah pasang surut, termasuk tanah gambut yang tebal, dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar tumbuh, waktu panen tidak tergantung musim sehingga memudahkan dalam penyimpanan, distribusi, dan pemasaran, dan hasil panennya dapat disimpan lama. Potensi produksi ini harus dibarengi dengan kreativitas pengembangan pengolahan hasil panen agar keberadaan tanaman pangan nonberas sama terkenalnya dengan padi. Kreativitas tersebut kemudian dilanjutkan dengan sosialisasi agar inovasi yang telah dikembangkan mampu dijangkau oleh masyarakat.

Jika rumput kebutuhan sudah tidak bisa dikendalikan, jalan terakhir yang tentunya akan mengeluarkan banyak modal akan ditempuh dengan cara impor. Seperti menggunakan mesin pemotong rumput, langkah ini dikatakan cepat dan akan langsung terasa manfaatnya dalam memenuhi kebutuhan beras secara nasional. Namun, modal yang perlu dikeluarkan itu berupa ancaman kedaulatan pangan dan bergantung dengan negara lain. Relisasi impor akan menimbulkan dampak penurunan produksi beras dalam negeri, karena impor memiliki pengaruh negativ terhadap produksi beras nasional dalam jangka pendek atapun jangka panjang. Beras impor yang umumnya memiliki harga lebih rendah dibandingkan harga lokal akan menimbulkan menurunnya daya saing sehingga petani enggan bertani yang mengakibatkan penurunan produksi beras. Kondisi tersebut jika lama dibiarkan berdampak pada ketergantungan sehingga mengikis kedulatan pangan yang kita miliki.

Saat ini, diperlukan keseimbangan kerjasama antara diversifikasi dan swasembada beras yang tengah digalakkan oleh pemerintah. Hal ini perlu dilakukan sebelum kita terlambat menyadari saat jumlah konsumsi sudah tidak mampu lagi dipenuhi oleh kemampuan produksi. Kemampuan produksi beras kita yang masih tangguh bukan berarti tanpa resiko dan masalah. Masalah kekeringan dan perubahan iklim akan membawa beberapa wabah hama dan penurunan produksi. Sinergi antara diversifikasi dan swasembada ini kelak akan menimbulkan kesejahteraan karena bukan hanya jumlah pangan yang cukup, melainkan jumlah pangan yang beraneka ragam seperti layaknya surga dunia yang seharusnya dimiliki Indonesia sebagai salah satu negara tropis terbesar di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun