Mengapa saya mengambil judul Tokyo - Train - Jakarta?
Karena penulis melihat akhir-akhir ini muncul permasalahan pada sistem per-kereta api-an di Indonesia, khususnya di wilayah Jabodetabek dengan Commuter Line-nya.
Pada tahun 2011, commuter line bersama dengan trans-jakarta menampung 700.000 pengguna angkutan umum di Jakarta setiap harinya.
Masalah tersebut adalah membludaknya orang yang menggunakan jasa kereta api commuter line. Jumlah ini terus menerus bertambah setiap harinya. Ditambah lagi dengan naiknya harga BBM, hal yang diharapkan oleh pemerintah  untuk menggiring masyarakat menggunakan transportasi publik, untuk Jabodetabek tentu saja Commuter Line menjadi salah satu moda favorit. Namun apakah penyelenggara layanan PT. KAI Commuter Line sudah siap? Bila melihat segi armada yang ada, tentu saja sudah cukup memuaskan, namun realitanya tidak seindah gerbong kereta yang ada. Jika anda naik commuter line pada masa-masa jam kerja (pulang atau berangkat) maka bersiaplah untuk menjadi 'ikan pepes'. ketidaknyamanan ini merupakan threat utama bagi PT. KAI Commuter Line. Masalah ini tentu bukan masalah baru, masalah ini merupakan persoalan klasik yang belum dapat diselesaikan hingga sekarang oleh PT. KAI.
Apabila penulis bertanya, apa pangkal masalah dari hal ini? Tentu saja publik dapat menjawab dengan mudah, dan jawaban yang paling sering muncul adalah :
1. Jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek yang terus bertambah dari waktu ke waktu.
2. Penduduk yang bekerja atau berkegiatan keluar-masuk Jakarta setiap harinya dapat berjumlah jutaan jiwa.
3. Jumlah armada Kereta Api yang tidak memadai dan sedikitnya gerbong yang disediakan.
Pada tiga jawaban yang ada diatas setengahnya benar, dan setengahnya salah. Jawaban yang benar adalah poin pertama dan kedua, karena memang akibat dari laju pertumbuhan yang pesat disektor ekonomi pada khususnya, mambuat wilayah Jabodetabek merupakan wilayah yang punya daya tarik sangat tinggi bagi penduduk desa dan penduduk diluar Jabodetabek untuk "mengadu nasib", hal ini merupakan salah satu penjelasan sederhana untuk pembenaran poin kedua.
Sedangkan untuk poin ketiga menurut penulis itu kurang tepat, karena untuk menambah jumlah gerbong dan armada kereta lagi di jalur commuter line akan menemui kesulitan tersendiri. Mengapa? karena dari jumlah gerbong yang beroperasi dari satu set kereta commuter line berjumlah delapan buah hingga sepuluh buah gerbong. Untuk menambah jumlah gerbong lagi (lebih dari 10) adalah mustahil adanya. Mengacu pada negara pabrikan kereta tersebut, yaitu Jepang, di Tokyo, kereta semacam commuter line disebut sebagai Circular line, yang model gerbong dan keretanya sama persis dengan yang ada di Jakarta (Kereta commuter yang ada di Jakarta adalah bekas Jepang di era 80-an dan 90-an).
Apabila ingin menambah jumlah gerbong, ketidak mungkinannya adalah akan membebani daya listrik yang bekerja untuk menggerakan KRL tersebut, selain itu akan memperlambat laju kereta pula. Justru dengan cara ini akan menambah masalah baru. Di Jepang, Tokyo, di tempat yang sudah begitu maju saja hanya menyertakan sepuluh gerbong untuk satu set kereta. selain itu, bila menggunakan perhitungan akan seperti berikut, bila sebuah gerbong pabrikan Jepang tersebut panjangnya sekitar 20 meter per unit, maka sepuluh buah gerbong panjangnya kurang lebih 200 meter, apabila ditambah, maka kapasistas stasiun yang ada di wilayah Jabodetabek pun tidak akan mendukung panjang kereta tersebut.
Lain lagi bila ingin menambah jumlah armada kereta, ini jauh lebih sulit, mengapa? menambah jumlah set kereta akan merubah semua jadwal pemberangkatan dan pemberhentian kereta di tiap stasiun, lebih dari itu, bahkan akan merusak jadwal transportasi yang ada. Selain itu, bila melihat perlintasan kereta api (perlintasan sebidang) yang memotong jalan maka akan menjadi lebih sulit, karena bila dengan sebuah perhitungan sederhana lagi, di setiap perlintasan kereta akan lewat sekitar 1-5 menit per satu set kereta, dan bila di perlintasan kereta itu ada dua jalur kereta, maka waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih sedikit, pertanyaannya, bila diperlintasan tersebut selalu dilewati kereta dalam rentang waktu yang berdekatan, maka bagaimana dengan kendaraan yang akan "menyeberangi" perlintasan tersebut?
Maka bila mengacu pada hal tersebut, kereta sebagai sebuah transportasi masal yang vital harus dibenahi, maka bila bagi kita yang masih memberikan saran untuk menambah jumlah kereta, menurut penulis, cara itu tidak relevan, dan akan menyulitkan pemerintah dan masyarakat itu sendiri, sebaiknya anda harus memikirkan solusi lain. Berdasarkan sudut pandang penulis sebagai anak muda yang berpikir praktis dan tidak neko-neko, saran yang bisa penulis berikan adalah untuk menambah Jalur kereta, bukan keretanya atau gerbongnya, jalur-jalur tambahan tersebut dapat dibuat di bawah tanah (subway) atau jalur kerta Layang (perlintasan tidak sebidang). Karena dengan dua jalur semacam itu tidak akan menggangu alur transportasi darat yang lain. Namun untuk subway, hal ini sepertinya akan sulit direalisasikan, mengingat kontur  dan kondisi tanah yang ada di wilayah Jabodetabek.