Cerita Perantau: Beli atau Buat?
Oleh Agung Kuswantoro
Senang dan menjadi termotivasi saat bercerita tentang perantau. Hidup di negeri orang tak gampang layaknya mulut berkata. Kalau hanya sekedar cerita, tulisan ini tidak menarik. Namun, apabila Anda merasakannya maka tulisan ini menjadi menarik.
Saat saya menuliskan artikel berjudul “Kemandirian dan Perantau” mendapatkan respon antusias (komentar) dari para pembaca. Beberapa orang menceritakan kisah hidup yang dialaminya. Ada yang berkomentar menceritakan mengenai kelahiran anaknya, pekerjaan, dan suka-duka hidup di perantauan.
Untuk kali ini, saya ingin bercerita tentang dua konsep “beli atau buat”. Bila membeli, karena bisa barter. Intinya ada alat yang untuk membeli berupa uang atau barang.
Sedangkan “buat” adalah menciptakan. Caranya dengan mengumpulkan bahan-bahan untuk menjadikan suatu karya. Misal gorengan adalah suau karya. Bisa tercipta gorengan, karena mengumpulkan bahan berupa tempe, tepung, mintak, dan bumbu. Itu pun harus memakai sarana dan prasarana seperti wajan, kompor, dan gas. Maknanya “buat” membutuhkan waktu dan sumber daya.
Orang yang merantau, pilihannya ada dua yaitu membuat dan membeli. Ia adalah orang yang kuat secara mental. Tidak butuh, kaya? Percaya? Lihatlah, penjual somey atau buruh. Saya pernah bertanya kepada mereka, bahwa mereka bukan asli dari daerah mereka yang menjual. Tapi dari luar daerah tersebut. Apakah mereka kaya? Tidak! Buktinya, apa? Mereka menjual tidak pakai mobil, bajunya sederhana, dan tidak memakai sepatu. Maknanya ia “bermental baja”. Ia sangat kuat dalam menjalankan kehidupannya. Belum lagi kalau lihat pendapatannya. Disinilah rahasia rizki Allah.
Kembali ke pembicaraan, bahwa pilihan perantau itu beli atau buat? Misal, waktu pagi akan sarapan. Bisa sarapan jika punya modal. Jika punya uang, maka beli makanan. Jika punya bahan, maka masak (baca: buat).
Jika perantau ingin tinggal di suatu tempat, maka butuh rumah. Jika ia punya uang, ia beli rumah. Jika ia belum punya uang banyak, maka mengontrak rumah. Jika kita sudah memiliki uang, maka kita membangun rumah (baca: buat). Betapa hebat mental perantau. Ia berpikiran lurus saja. Tidak berpikiran, saat lapar, akan ada orang tua yang mengantarkan makanan. Saat ia menginginkan tempat tinggal, tidak terlalu – bahkan tidak berharap – akan warisan orang tua. Pemikirannya datar aja.
Tulisan ini tidak bermaksud menyombongkan diri, atau menyindir orang lain. Namun, semata-mata untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain yang bernasib sama. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua. Amin.
Semarang, 2 Maret 2017