Hari ini adalah hari arsip nasional yang ke-45, namun hari jadi arsip ini tak seramai hari buku. Tidak tahu kenapa hari ini sepi dari pemberitaan mengenai arsip. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kepada pembaca untuk mencintai arsip.
Pernahkah kita kehilangan suatu dokumen? Katakanlah KTP atau buku tabungan. Atau, pernahkah kita kehilangan file di komputer? Lalu, apa yang kita rasakan? Apakah biasa saja? Atau kita kebingungan mencari dokumen-dokumen tersebut?
Pastinya, kita akan panik, jika kehilangan dokumen-dokumen tersebut. Mengapa demikian? Karena kita masih membutuhkannya. Jika kita kehilangan buku tabungan saja, kita harus ke kantor polisi untuk dibuatkan surat keterangan kehilangan barang, kemudian pihak bank akan menyetakkannya, setelah ada bukti surat keterangan kehilangan barang dari kepolisian. Jika kita perhatikan, sebenarnya sederhana buku tabungan tersebut, bahkan jika kita ke bank, kita masih mengetahui informasi saldo uang di bank, tanpa harus membawa buku tabungan tersebut. Lalu, kenapa kita bertele-tele untuk berbuat menyetak buku tabungan lagi?
Itu, maknanya kita masih butuh ARSIP. Sekali lagi ARSIP. Zaman boleh berubah. Budaya boleh bergeser. Tapi nilai suatu arsip harus tetap informasi di buku tabungan itu tetap, meskipun dapat diketahui dengan cara manual atau modern. Cara manual dengan menyetak buku tabungan, sedangkan cara modern dengan konfirmasi ke bank dengan sistem yang ada di bank atau ATM.
Arsip tak lekang oleh waktu – meminjam judul Krispatih – keberadaannya, masih dibutuhkan kapanpun, oleh siapapun, dan dalam bentuk apa pun. Kapan pun dimaksudkan adalah arsip saat ini, masa lalu, dan masa yang akan datang masih dibutuhkan. Surat Perintah Sebelas Maret adalah contoh arsip yang belum ditemukan. Keberadaan dia masih misteri, sehingga nilai informasi yang ada di dalamnya atau dokumennya lemah.Â
Mengapa lemah? Karena arsipnya atau dokumennya tidak ada. Jadi, cerita atau informasi yang melekat di Supersemar pun menjadi kurang kuat. Pada masa sekarang, masa yang akan datang, dan masa lampau. Saya berkeyakinan, jika surat tersebut ditemukan, pasti informasi tersebut dibutuhkan dan tak lekang oleh waktu. Informasi tersebut pasti dibutuhkan oleh anak-anak sekolah hingga generasi yang akan datang.
Contoh arsip yang berupa buku tabungan atau surat perintah itu bukti bahwa kita butuh arsip. Oleh karenanya, marilah kita mencintai arsip mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat bangsa serta negara. Jika kita sudah mencintai arsip sendiri, pasti negara ini akan tertib. Misal, kita menyimpan baik KTP, KK, Ijasah sekolah, transkrip nilai, akte lahir, akte tanah, akte nikah, surat perjanjian di lingkungan kita, maka negara akan mudah dalam mengadministrasikan dan akan menghasilkan informasi yang valid dan reliable. Jika negara mampu menyimpan arsip dengan baik, maka negara tidak akan kehilangan asetnya.
Lalu, bersegeralah untuk mencintai arsip dari hal yang kecil, dengan menyimpan KTP, ATM, Kartu Mahasiswa, bukti pembayaran di tempat yang layak. Jangan asal menyimpan. Semakin kita mudah menyimpan, akan semakin susah kita mencarinya. Demikian pula, jika dokumen yang memiliki nilai informasi yang vital, maka dokumen tersebut harus disimpan di tempat yang lebih layak, sehingga negara pun mampu mencintai arsip.
Sebagai penutup, mari mencintai arsip. Jangan memandang bentuk fisik semata arsip. Jangan menghukum suatu arsip karena bentuknya. Namun lihatlah arsip karena ada nilai yang terkandung di dalamnya, berupa informasi yang sangat penting. Jika kita tidak menghormati akan isi dari arsip tersebut, maka pasti kita tidak akan memiliki informasi mengenai arsip. Percaya? Coba siapa yang berani membakar akte lahir kita? Dirgahayu hari Arsip Nasional yang ke-45, tanggal 18 Mei 2016
Agung Kuswantoro, pencinta arsip,hp 08179599354
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H