Mohon tunggu...
Agung Kuswantoro
Agung Kuswantoro Mohon Tunggu... Administrasi - UNNES

Pengin istiqomah dan ingin menjadikan menulis menjadi kebiasaan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Memaknai Tiap Kata

18 Januari 2014   17:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:42 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Untuk memantapkan seorang laki-laki akan menikah, lebih baik belajar fiqih bab nikah. Hal ini perlu, karena di dalamnya mengandung nilai-nilai yang penuh makna. Dengan belajar fiqih, secara tidak langsung memahami ilmu nikah, dimana penghulu juga belajar ilmu tersebut.

Jika kita berbeda pendapat dengannya, kita tidak akan panik karena pendapat kita juga ada dalam ilmu tersebut.

Misal di dalam fatkhul mu’in dijelaskan, bahwa menurut beberapa ulama’ diperbolehkan seorang calon suami menjawab akadnya dengan kata “saya terima” atau ”qobiltu”, namun jika ingin sempurna, maka dengan kalimat “saya terima nikah dan kawinnya, fulan binti fulan, dengan mas kawin………. dibayar tunai”.

Namun, berdasarkan pengamatan penulis bahwa mempelai pria “grogi” dan kadang panik dengan sikap pemulu yang mengatakan “ulangi-ulangi”. Bahkan cenderung mengatakan akad dengan kalimat yang sempurna.

Di suatu tempat, penulis pernah menghadiri akad nikah teman. Kondisi calon pria, dapat dikatakan sudah “down” dengan kesalahan akad yang lebih dari tiga kali. Saking sering salahnya, akhirnya dia dituntun oleh pemulu.

Coba jika merujuk pada pendapat salah satu  ulama’ di kitab tersebut, yang cukup dengan mengatakan “saya terima” saya rasa hal tersebut tidak masalah, bahkan psikis dia tidak “down”. Saksi yang melihatnya juga ikut was-was atas ketidak lancaran dia. Kalimat penerimaan yang diucapkan calon pria mengandung arti yang dalam.

“Saya terima”, artinya bukan orang lain atau orang tua yang menerima nikah atau kawinnya, tetapi saya atau calon suami. Artinya, tanggung jawab istri dan anak kelak ada pada suami setelah akad, sehingga sangat tidak tepat jika ada orang menikah, tetapi orang tua masih mengurusi kelurga anaknya yang telah menikah.

Logikanya, ketika orang memutuskan menikah, maka dia sudah baligh, fisik, akal, dan perasaannya. Jika baligh fisik, Insya Alloh semua orang bisa nikah, tapi baligh akal dan perasaan belum tentu. Itu semua membutuhkan proses.

“Nikah dan kawinnya”, bukan “nikah atau kawinnya”. Secara bahasa memiliki perbedaan. Nikah cenderung pada legalitas hukum di mata Tuhan, sedangkan kawin cenderung pada belum sahnya hubungan antara laki-laki dan wanita, sehingga ada istilah “sudah kawin, tapi belum nikah”.

Benar juga kalimat tersebut, bahkan banyak di kalangan kita, penulis juga menyadari hal itu. Istilah kawin cenderung dimaknai hubungan suami istri, sebagaimana istilah kawin di biologi, maka saya lebih suka dengan bahasa nikah. Tetapi untuk akad nikah tetap dengan dua istilah tersebut.

Kata “fulan bin fulan” memiliki arti bahwa kita harus mengetahui nama lengkap calon istri dan orang tuanya beserta maknanya.

Kata “mahar” memiliki arti symbol atau sesuatu yang akan diberikan kepada calon istri. Dalam bahasa indonesia mahar diistilahkan dengan emas kawin.

Berdasarkan keterangan yang penulis peroleh, bahwa zaman dulu emas merupakan benda yang mulia dan bermakna, sehingga mengandung makna, mahar itu sesuatu yang mulia dan bermakna. Mungkin jika jaman dulu, yang mulia itu mobil, maka mahar diistilahkan dengan mobil kawin.

Mahar harus disebutkan secara detail dan pantas, jumlah nominalnya, karena kita menikah dengan orang yang akan diajak untuk hidup siang, malam, pagi, sore, susah, sedih, dan senang.

Itupun, harus kita kemas dengan menarik. Jangan dibungkus dengan amplop putih atau tanpa amplop. Hal tersebut penulis pernah menjumpainya. Mahar dengan uang yang tidak pantas untuk seorang perempuan untuk teman hidupnya. Padahal dalam “gawan” atau “seserahan” atau “meminangnya”, bahkan dilengkapi dengan kalung, cincin dan anting-anting emas.

Alhamdulillah, penghulu saat itu bijak, mahar yang diberikan oleh dia yang kurang “layak”, penghulu minta tambahan atau melebihkan nominalnya, dengan alasan memantaskan mahar itu dengan perempuan. Diapun setuju dengan penambahan nominalnya.

Kata dibayar “tunai”, memiliki arti pembayaran mahar secara tunai atau kredit. Menurut penulis, lebih baik dibayar tunai. Jika dibayar cicil atau hutang, meskipun diperbolehkan dalam agama, maka menjadi beban. Meskipun dengan mahar yang memiliki nominal besar. Masa kita akan hutang dengan orang yang akan tidur dengan orang yang seranjang dengan kita? terlebih orang itu selalu ada dalam hidup kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun