Mohon tunggu...
Agung Baskoro
Agung Baskoro Mohon Tunggu... Konsultan - Political Consultan | PR Strategist |

Political Consultant | PR Strategist | Tanoto Scholar | The Next Leader Award Versi Universitas Paramadina-Metro TV 2009 | Buku Status Update For The Best Student (Gramedia Pustaka Utama, 2012) | Juventini | Contact : agungbaskoro86@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Memimpin Masa Depan

1 September 2020   09:53 Diperbarui: 1 September 2020   09:55 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul tulisan ini mencoba membayangkan masa depan seperti masa sekarang, agar kita mampu memahami dan berikutnya memberikan usaha terbaik saat menjalani. Artinya, dialektika masa depan yang dimaksud bukan lagi soal sintesis dari masa lalu dan masa kini. Tapi, bagaimana kita menciptakan ruang baru memimpin masa depan. Sayangnya seringkali imajinasi ini hanya didukung dengan asumsi dan prediksi para ahli melalui serangkaian olah big data. Tantangan semacam ini sebenarnya bisa diatasi bila kita mempunyai 3 hal untuk memastikannya, yakni (1) kuasa untuk mengeksekusi setiap rencana tanpa gangguan (2) Kedisplinan tinggi atau (3) memiliki kemampuan masa depan.

Dalam konteks itulah, peran negara menjadi sentral. Demi memastikan ketiga usaha di atas dapat berlangsung baik. Uni Emirat Arab dan Swedia menjadi dua negara rujukan bagaimana memimpin masa depan. Setidaknya dengan kehadiran sebuah kementrian di kabinet pemerintahannya, masa depan yang sedang diulas jadi lebih mudah dideskripsikan. Bagaimana mengintegrasikan kebutuhan dalam negeri serta tantangan zaman yang seringkali berkelindan dengan persaingan, aturan, dan kepentingan.

Dalam konteks ini, visi negara menjadi terang karena terus-menerus ditegaskan secara resmi dan sistematis sehingga punya proyeksi pengaruh yang jauh ketimbang pragmatisme politisi dan pihak-pihak lainnya yang kadang dibatasi oleh proses eleksi (baca : pemilu). Masa depan di tahap ini bukan semata identik dengan inovasi iptek, seperti soal Revolusi Industri ke-4 atau sekarang sedang menuju ke-5, pembangunan berkelanjutan, hingga teknologi ramah lingkungan saja, namun bagaimana misalnya, kita mampu mencegah pandemi agar tidak berulang seperti sekarang atau menguirangi dampak bencana alam yang sering terjadi di tanah air. Artinya, dengan mempersiapkan dan mencegah bahaya, masa depan yang kita bayangkan jadi lebih baik dan siapapun di masa itu pemimpinnya, akan siap memberikan yang terbaik.

Ada ungkapan menarik soal masa depan ini dari Sekretaris Pertahanan di masa Presiden Bush Jr, Donald Rumsfeld, soal masa depan ini, ia mengungkapkan mengatakan ada tiga jenis tantangan, yakni kita tahu bahwa kita tahu (known-known), lalu kita tahu bahwa kita tidak tahu (known-unknown), dan kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown-unknown). Masa depan akan dipenuhi dengan tantangan di area unknown-unknown. Jika para pemimpin fokus pada tantangan yang known-known, dia seperti mesin yang kehilangan pikiran jernih dan tindakan obyektifnya. Sementara, Jika ia terjebak pada poin kedua, maka ia hanya menjadi pemberi solusi yang kehilangan orientasi mencegah.

Akhirnya, mau tidak mau semua pihak harus mampu melangkah ke titik ketiga (unknown-unknown), yang berarti menganalisis masa depan agar bisa melakukan berbagai antisipasi sehingga terhindar dari kejutan yang merugikan. Sebagaimana cerita lebih dari setengah abad yang lalu sejak Presiden AS Lyndon Johnson diberikan peringatan studi publik pertama tentang potensi efek merusak dari akumulasi karbon dioksida di atmosfer dan dikuatkan kembali oleh An inconvenient Truth karya Al Gore pada tahun 2006 terkait pemanasan global.

Mempersiapkan Pemimpin

Ada ungkapan menarik dari barat soal masa depan ini yang saya ambil dari kesimpulan artikel The politics of anticipation: On knowing and governing environmental futures di Jurnal Future (2017), karya Granjou, Walker, dan Salazar, "Knowing the future is one thing, but governing it is quite something else, yang kurang lebih artinya, mengetahui masa depan adalah satu hal, tapi mengaturnya adalah sesuatu yang lain. Tulisan ini coba mengungkap studi masa depan sejak tahun 1968, kaitannya dengan kerusakan lingkungan, dan bagaimana intervensi teknologi serta politik dalam mengelolanya dipublik. Pemimpin di titik ini memegang peranan penting dalam memastikan masa depan yang sedari awal kita bahas. Karena negara beserta pos-pos strategis pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang ada di dalamnya, tak mungkin berjalan atau dijalankan autopilot tanpa pengemudi handal. Jika demikian apa yang bisa dilakukan?

Dalam bingkai inilah Tanoto Foundation yang didirikan oleh Sukanto Tanoto menghadirkan program secara konsisten setiap tahunnya, melalui "Transformasi Edukasi Melahirkan Pemimpin Masa Depan" atau disingkat TELADAN, demi memastikan regenerasi kepemimpinan nasional melalui pemuda-pemuda terdidik yang siap berkontribusi untuk masa depan dapat terwujud. Tahun ini pendaftaran mulai dibuka 24 Agustus - 30 September 2020 dan Dalam program TELADAN ini, Tanoto Foundation mengawal sejak pertama mahasiswa masuk di perguruan tinggi hingga ia lulus melalui beragam program, beasiswa kuliah 8 semester beserta tunjangan hidup bulanan, pelatihan kepemimpinan secara berjenjang dan intesif, Dukungan untuk kegiatan Pengayaan Program Pengembangan Kepemimpinan, lewat sponsorhip kegiatan mengikuti beragam kompetisi, summer course ke kampus-kampus top dunia, internship di RGE Grup dan Mitra Tanoto Foundation, Pay it Forward ke masyarakat sekitar, Tanoto Student Research Award (TSRA), Tanoto Scholars Gathering (TSG), dan Tanoto Scholars Association (TSA).

Harapannya, dengan pendampingan finansial dan pembinaan personal dari Tanoto Foundation kepada mahasiswa yang berhasil lulus seleksi Program TELADAN ini, kelak mereka menjadi sosok SDM berkualitas karena memiliki keterampilan masa depan (future soft skills). Selain mampu memberi sumbangsih bagi masyarakat, mereka menjadi pemimpin-pemimpin strategis yang tetap tak bisa tergantikan oleh robot, kecerdasan buatan, machine learning dan sejenisnya karena teknologi tersebut sukar menjadi manusia seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun