Mohon tunggu...
Agung Bachtiar
Agung Bachtiar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pertahanan RI

Mahasiswa Magister Keamanan Maritim

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengamankan Kedaulatan Indonesia dalam Bayang-bayang Konflik Laut China Selatan

30 April 2024   07:40 Diperbarui: 30 April 2024   10:08 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Laut China Selatan telah menjadi fokus utama dalam politik regional Asia Pasifik. Kedaulatan maritim Indonesia juga terancam dalam bayang-bayang persaingan yang kompleks di wilayah ini. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, perubahan geopolitik, dan kepentingan strategis yang bertabrakan, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga kedaulatannya di tengah ketegangan yang semakin meningkat. Laut China Selatan telah lama menjadi titik panas geopolitik yang melibatkan banyak negara dengan klaim teritorial dan kepentingan sumber daya yang saling bertentangan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terluas terdiri dari ribuan pulau dan salah satu pulau terpenting adalah Kepulauan Natuna. Letaknya di bagian selatan Laut China Selatan yang posisinya menjorok ke utara yang terletak di Laut China Selatan bagian selatan, hal ini membuat wilayah Natuna menjadi strategis, serta kaya akan sumber daya alam seperti ikan dan mineral. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari sumber daya perikanan di Natuna yang dimanfaatkan. Natuna juga kaya akan minyak dan gas, salah satu penyumbang pendapatan utama dari sektor minyak dan gas di Indonesia. Laut di sekitar Natuna juga menjadi jalur penting bagi kapal-kapal internasional, sehingga banyak negara, termasuk Tiongkok ingin menguasainya. Tiongkok bahkan mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui klaim historis yang dikenal sebagai "Nine Dash Line". Klaim ini mencakup wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Natuna. Indonesia, untuk melindungi kedaulatan dan kepentingannya, telah mengambil langkah-langkah seperti menindak kapal-kapal China yang illegal, yang melakukan penangkapan ikan di Natuna dan mengirim kapal perang untuk patroli di wilayah tersebut.

Masalah di Laut China Selatan menjadi lebih kompleks karena tuntutan Tiongkok terhadap Natuna berdasarkan klaim "Nine Dash Line" yang mereka klaim sejak 1947. Meskipun Tiongkok tidak mempermasalahkan kepemilikan pulau Natuna oleh Indonesia, mereka menganggap perairannya sebagai tempat penangkapan ikan tradisional bagi nelayan Tiongkok. Hal ini menimbulkan konflik, termasuk penangkapan kapal nelayan Tiongkok yang menangkap ikan seacara illegal di perairan Natuna. Masalah ini tidak hanya soal kepemilikan wilayah, tetapi juga tentang pelanggaran hak-hak Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya oleh Tiongkok dalam mengklaim "Nine Dash Line" yang tidak sesuai dengan hukum internasional. 

Ambisi Tiongkok terhadap wilayah di Laut China Selatan telah menimbulkan banyak kontroversi. Tiongkok mengklaim sejumlah besar wilayah di Laut China Selatan melalui garis sembilan titik (nine-dash line), yang mencakup area yang juga diklaim oleh negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Taiwan. Kepulauan Spartly, Paracel, dan Natuna adalah beberapa contoh wilayah yang menjadi sumber perselisihan. Terutama, Kepulauan Spratly dan Paracel telah menjadi pusat konflik militer dan diplomasi antara Tiongkok dan negara-negara tetangga, khususnya Vietnam. Pada tahun 1988, Tiongkok memperluas ekspansi di Kepulauan Spratly dengan mengerahkan militer di beberapa pulau. Tahun yang sama juga tercatat adanya konflik antara Tiongkok dan Vietnam di wilayah tersebut. 

Tiongkok telah mengusir pasukan Vietnam dari beberapa pulau di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tiongkok telah mencoba memperkuat klaimnya secara de jure dengan menerbitkan berbagai undang-undang. Salah satunya adalah Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone yang mencantumkan Kepulauan Spratly sebagai bagian dari wilayah Tiongkok. Jika Tiongkok memutuskan untuk menegaskan klaimnya terhadap Natuna, ini tentu akan menimbulkan masalah serius bagi kedaulatan Indonesia. Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah dengan tegas menolak klaim Tiongkok di Laut China Selatan yang berpotongan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.  

Pada tahun 2023, Tiongkok juga memperkenalkan peta baru yang disebut "Ten-Dash Line" yang sebelumnya "Nine-Dash Line". Peta "Ten-Dash Line" yang diperkenalkan oleh Tiongkok memperluas klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan, mencakup wilayah yang sebelumnya tidak dimasukkan dalam klaimnya, seperti wilayah sekitar Taiwan dan utara India. Hal ini telah menimbulkan protes tajam dari beberapa negara termasuk India, Nepal, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan. India khususnya terganggu karena klaim baru tersebut menyangkut wilayah yang sebelumnya tidak menjadi bagian dari klaim Tiongkok. Bahkan, dalam paspor terbaru warga Tiongkok peta terbaru tersebut sudah disertakan.

Indonesia bukan bagian dari klaim teritorial di Laut China Selatan, tetapi ZEE di sekitar Kepulauan Natuna seringkali bersinggungan dengan klaim Tiongkok. Meskipun Indonesia tidak mengakui klaim "Nine-Dash Line" ataupun peta baru "Ten-Dash Line", insiden-insiden antara kapal Tiongkok dan kapal Indonesia telah terjadi di wilayah ini. Tindakan agresif Tiongkok di ZEE Indonesia telah memicu respons tegas dari pemerintah Indonesia, yang menguatkan patroli dan meningkatkan kehadiran militer di Natuna untuk menjaga kedaulatan nasional.

Indonesia mengambil pendekatan yang seimbang dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan. Di satu sisi, Indonesia telah memperkuat kehadiran militernya di Natuna untuk melindungi ZEE dan memastikan kedaulatan negara. Pemerintah telah menginvestasikan sumber daya dalam peningkatan fasilitas militer, patroli laut, dan latihan militer di wilayah ini. Pendekatan ini dirancang untuk mengirimkan sinyal yang jelas kepada Tiongkok bahwa Indonesia siap melindungi wilayahnya. Namun, pendekatan militer bukan satu-satunya solusi. Indonesia juga mengutamakan diplomasi dan kerjasama regional untuk mengurangi ketegangan dan mencegah eskalasi konflik. Sebagai anggota ASEAN yang berpengaruh, Indonesia berperan sebagai mediator dan fasilitator dialog untuk menyelesaikan konflik Laut China Selatan secara damai. Pendekatan diplomatik ini mencakup upaya untuk menyusun Kode Etik (Code of Conduct) yang mengikat antara ASEAN dan Tiongkok, yang dapat menjadi kerangka kerja untuk mengatasi ketegangan dan mengurangi risiko konflik di masa depan.

Strategi Indonesia di Laut China Selatan menggabungkan pendekatan militer dan diplomasi dengan kerjasama regional dan internasional. Indonesia menegaskan bahwa tindakan militer harus digunakan hanya untuk menjaga keamanan dan kedaulatan, bukan untuk memprovokasi ketegangan lebih lanjut. Pemerintah juga berusaha memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk membentuk front yang lebih kuat dalam menghadapi klaim Tiongkok yang agresif.

Indonesia juga berperan aktif dalam dialog internasional untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan ini. Melalui keterlibatan dalam forum-forum regional dan global, Indonesia dapat memperluas pengaruhnya dan mendorong solusi yang mengedepankan diplomasi dan hukum internasional. Hal ini memungkinkan Indonesia untuk menjaga hubungan yang stabil dengan negara-negara lain sambil mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun