Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Pancasila dalam Prespektif Kompasianer (Nangkring Bedah Buku)

11 Oktober 2014   05:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:30 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_365495" align="aligncenter" width="557" caption="dokpri"][/caption]

Acara Nangkring dalam rangka Bedah Buku "Pancasila Rumah Kita Bersama" (PRKB) kali ini 10 Oktober 2014, diadakan di lantai 6 kantor Kompasiana Palmerah Barat, memang peserta tak terlalu banyak namun kehangatan tetaplah terasa. Saya datang beberapa saat sebelum acara dimulai jadi masih bisa bertegur sapa dengan admin Mas Raja dan admin Mbak Ima, kemudian berbincang santai dengan Pak Emcho yang baru datang dari Surabaya bersebelahan dengan Mas Wahyu dari Lenteng Agung. Tak lama setelah itu hadir rekan K-ers lain Mbak Maria Margaretha, Bu Ngesti Setyo Moerni, Mas Ando susul menyusul rekan yang lain.

Dimoderatori mas Raja acara bedah buku dimulai dengan pemaparan dari Pak Thamrin Sonata (TS) mengenai gagasan awal buku PRKB ini, tema yang terlihat serius dan berat mengusung sang Dasar Negara ini awalnya "menakutkan" beberapa penulis. Pak TS berhasil merubah mindset itu menjadi lebih ringan, para penulis yang terdiri dari 30 Kompasianer menulis berdasar sudut pandang masing masing. Penulis yang berasal dari beragam latar belakang mulai dari dosen, pendidik, profesional, jurnalis, penggiat lingkungan, pensiunan bahkan ibu rumah tangga menjadikan buku PRKB penuh warna (Full Colour). Saya yang belum membaca buku inipun bisa membayangkan betapa kebhineka tunggal ikaan tersaji dalam cerita cerita masing masing K-ers, gaya masing masing penulis kentara tak jauh dengan tulisan di wall Kompasiana.

[caption id="attachment_365496" align="aligncenter" width="630" caption="dokpri"]

14129557691783357852
14129557691783357852
[/caption]

Pak Much Khoiri akrab disapa Pak Emcho sang dosen yang produktif membuat dan menerbitkan buku ini melihat Pancasila justru dari kemacetan ibukota, para pengendara saling berebut ruang jalanan ibukota yang terbatas. Mobil dan motor yang berjibun seolah tak lagi mengindahkan aturan berlalu lintas. Ide tulisan yang menarik ini berangkat dari masalah disekeliling kita, kalau dipikir bukankah budaya antri sebenarnya nilai luhur yang ada dalam Pancasila. Kalau saja setiap pengendara tertib dan tak ingin menang sendiri atau tidak egois pastilah permasalahan macet tuntas tanpa menunggu janji gubernur terpilih,Cagub dan Cawagub akan mencari tema lain untuk bahan "jualan" pastinya.

[caption id="attachment_365497" align="aligncenter" width="609" caption="dokpri"]

14129559961272265130
14129559961272265130
[/caption]

Pak Isson Khairul menyoroti Pancasila lebih kritis, bagaimanapun Pancasila adalah produk politik meski dikemas dengan bungkus apapun. Pada masa Orde baru Soeharto menetapkan 1 oktober sebagai hari kesaktian pancasila. Setiap tahun ajaran baru mulai dari SMP, SMA dan Peguruan Tinggi ada kewajiban bagi seluruh murid baru mengikuti Penataran P4 mulai dari paket 10 jam, 35 jam hingga 100 jam. Setelah Soeharto lengser kemudian berganti dengan Orde Reformasi, nilai nilai luhur Pancasila belum tercermin dalam perlaku elit politik, konflik SARA masih terjadi di beberapa tempat. Potret yang terjadi selama 16 tahun ( 1998- 2014 ) masa Orde Reformasi masih jauh dari nilai luhur Pancasila.

Narasumber ketiga Pak Thamrin Dahlan (TD) Pensiunan yang juga Dosen memperkenalkan Pancasila melalui mahasiswa. Pak TD meyakinkan kepada mahasiswa didiknya bahwa mereka adalah orang yang beruntung termasuk dalam 10% yang bisa menikmati pendidikan tinggi. Sarana ini seharusnya menjadi alsan untuk memposisikan mahasiswa sebagai pelopor dan teladan bagi generasi seumuran yang tak berkuliah. Keteladanan mereka dibentuk selama mengikuti proses perkuliahan untuk menjadi seorang pekerja yang profesional. Sikap profesional paling tidak mencakup Ilmu Pengetahuan (science) ketrampilan (Skill) dan sikap (attitude)

Usai pemaparan ketiga narsum, diskusi berlangsung hangat. Pak Ben melontarkan pertanyaan perihal Pancasila sebagai alat pemersatu, berarti kalau sudah bersatu berarti tak perlu alat. Namun Pak TD menjelaskan bahwa ada dimensi waktu dan generasi yang terus berjalan, maka alat pemersatu tetap dibutuhkan. Kemudian rekan kompasianer lain saling berbagi kisah dan pengalaman denga Pancasila melalui keseharian. Rasa hangat penuh kekeluargaan saya rasakan selama acara bedah buku berlangsung , ada yang menyeruak dalam benak saya. Untuk menjadikan Pancasila Rumah Kita Bersama bisa saja dimulai dari lingkungan terdekat kita, kehadiran saya di acara Nangkring sore ini memberi sebuah kata baru sebenarnya Kompasiana (juga) Rumah Kita Bersama. Jadi kenapa kita tak membangun bangsa melalui hal kecil yang kita bisa yaitu melalui tulisan yang bermanfaat di Kompasaiana. salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun