[caption id="attachment_354849" align="aligncenter" width="640" caption="diambil dr merdeka.com"][/caption]
Siapa yang tak kenal dengan kesenian yang satu ini, kesenian khas Betawi yang namanya cukup familiar adalah ondel ondel. Kesenian satu ini sejajar dengan kesenian daerah lain di Indonesia, kalau Ondel Ondel mewakili masyarakat Betawi maka di bumi lain ibu pertiwi ada Reog yang menjadi identitas Kota Ponorogo, ada Ludruk kesenian khas Surabaya, ada tari Saman yang dibawakan dengan kompak menjadi penanda Aceh, ada tari Kecak tarian khas Pulau Dewata dan banyak lagi kesenian yang mewakili setiap daerah yang ada di Indonesia. Alangkah kaya negeri kita tercinta ini, maka siapa tak berbangga menjadi bagian dari negara yang majemuk dan menyimpan selaksa eksotika alam dan budaya, yang bisa jadi membuat iri penduduk bangsa lainnya.
Jumat malam ketika petang merambat gelap seketika saya dikejutkan musik tanjidor di tengah hiruk-pikuk kendaraan saat arus pulang pekerja tiba. Serombongan anak muda dan bapak muda rentang usia 20th - 40th-an beriringan mengarak dua ondel-ondel di pinggir jalan dengan musik yang keras demi melawan suara knalpot dan keramaian daerah pinggiran Ibu Kota. Musik yang dibawakan pun cukup akrab di telinga sedang memainkan lagu populer Nonton Ondel Ondel yang dibawakan (Alm.) Benyamin Sueb. Tampak dua tiga anak muda di antara rombongan berjalan terpisah agak di depan mengacungkan kaleng tanggung bekas cat dinding untu menampung uang dari pengendara atau pejalan kaki yang melintas.
Meskipun tak terlalu jelas tapi saya yang sempat beriringan dengan rombongan bisa sekilas mencium aroma keringat yang kurang sedap, dan melihat baju yang dikenakan sudah lusuh dan seadanya beberapa ada yang tak beralas kaki. Motor yang saya kendarai terus melaju menuju tujuan daerah Tangerang Selatan, tak berapa lama dari tempat berpapasan dengan Ondel Ondel ada sebuah mall sedang menggelar live music di pelataran mall yang rupanya juga menjadi Pujasera. Suara musiknya tak kalah hingar-bingar sukses meredam riuh rendah suara kendaraan yang lewat didepan mall, suara sang penyanyi yang merdu bisa dinikmati siapa saja yang mendengarkan sekaligus memancing pendengar ikut bernyanyi lagu-lagu berbahasa asing yang sedang diperdengarkan, meski pandangan tak melihat secara langsung sang biduan saya bisa pastikan bahwa tempat dan suasana mall akan menuntut sang penyanyi berpenampilan mewah atau paling tidak bajunya khas busana panggung yang harum.
Menyaksikan dua keadaan yang kontras membuat saya jadi berpikir perihal nasib ondel-ondel yang nyata-nyata kesenian khas tuan rumah, dalam beberapa tahun ke depan melawan gempuran budaya modern yang ternyata lebih menarik dan terkesan prestisenya. Bagaimana pula nasib anak-anak muda yang lebih kecanduan musik, permainan dan aneka lifestyle yang jauh dari akar budaya negeri sendiri.
Sejarah Ondel Ondel (sumber wikipedia)
[caption id="attachment_354850" align="aligncenter" width="560" caption="Ondel Ondel 1923 (wikipedia)"]
Ondel-ondel adalah bentuk pertunjukan rakyat Betawi yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat. Nampaknya ondel-ondel memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak-cucunya atau penduduk suatu desa. Ondel-ondel yang berupa boneka besar setinggi sekitar 2,5 meter dengan garis tengah ± 80 cm, dibuat dari anyaman bambu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepala dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki biasanya dicat dengan warna merah, sedangkan yang perempuan warna putih.
Semula ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau gangguan roh halus yang gentayangan. Dewasa ini ondel-ondel biasanya digunakan untuk menambah semarak pesta-pesta rakyat atau untuk penyambutan tamu terhormat, misalnya pada peresmian gedung yang baru selesai dibangun. Musik yang mengiringi ondel-ondel tidak tentu, tergantung dari masing-masing rombongan. Ada yang diiringi tanjidor ada yang diiringi dengan pencak Betawi, ada pula yang diiring Bende, “Remes”, Ningnong dan Rebana ketimpring.
Ondel Ondel Nasibmu Kini
Meskipun saya bukan keturunan Betawi alias perantau yang kemudian menetap, saya turut berempati sekaligus merasakan keprihatinan yang mendalam. Melihat ondel ondel modern hanya muncul pada momen tertentu sepengetahuan saya di acara formal waktu pembukaan dan penutupan Pekan Raya jakarta (PRJ) selebihnya tak terlihat lagi. Maka ketika kembali melihat dua boneka raksasa ini hadir menyeruak di tengah keriuhan kota saya bingung apakah harus sedih ataukah harus senang karena sang ondel-ondel kini berjuang demi mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran budaya pop yang (seolah) hendak menggeser keberadaannya.
Saya berbaik sangka kepada budayawan Betawi yang prihatin dengan kondisi ondel-ondel mungkin yang mencetuskan inisiatif untuk membuat ondel-ondel keliling menyapa masyarakat agar anak-anak kecil yang akan menjadi penerus estafet kebudayaan di hari depan mengenalnya dan (berharap) melestarikannya. Tapi itu saja belum cukup menurut saya harus ada kebijakan dari pemangku negeri khususnya instansi terkait untuk membuat peraturan atau perundang-undangan yang memiliki payung hukum apa pun dan bagaimanapun caranya agar kesenian ondel-ondel ini bisa eksis dan bertahan, setidaknya tidak terseok-seok sendirian melawan budaya asing.