Setiap kehidupan pasti menemu liku-liku, tak ada yang bisa menjamin jalan hidup selalu mulus tanpa kerikili. Karena jalan terjalpun adalah sebuah keniscayaan, justru menjadi tahapan untuk menumbuh sikap dewasa.
Kepedihan sengaja disediakan kehidupan, untuk mengasah kerendahhatian dan sikap pasrah. Ujian demi ujian diadakan, justru untuk memberi warna indah dalam perjalanan hidup setiap orang. Siapapun yang pernah merasakan terluka, biasanya lebih bisa berempati pada derita orang lain. Karena dia sendiri pernah merasakan, betapa tidak enak menyandang perih.
Bagi orang yang senang sepanjang hidup, saya yakin kecil kemungkinan mampu dan cepat sigap bersimpati. Bisa jadi karena keenakkan-keenakkan dialami, kurang mengajari pada bagaimana menyandang rasanya sebuah kesedihan.
Tepat kalau sebuah kalimat mengatakan,”orang yang kerap tertawa berlebihan akan keras hatinya”. Bisa jadi kebahagiaan yang berlebihan, lambat laun akan melunturkan kepekaan dan kelembutan perasaan.
Betapa dahsyat skenario hidup ini berlaku, apapun keadaan dialami sejatinya membawa dampak bagi pelakunya. Semua yang kita kerjakan (baik/buruh), sejatinya hasilnya akan kembali pada pelakunya itu sendiri – bisa disebut hukum karma-.
Menikah Sebagai Sarana Berbagi
Pernikahan menjadi episode dalam kehidupan, oleh alam diselenggarakan bagi kebaikan umat manusia itu sendiri. Sebegitu utamanya perintah menikah, hingga diriwayatkan dalam sebuah hadist yang kesahihannya teruji.
Hadist diriwayatkan Baihaqi dan Annas bahwa Rasulullah bersabda “Apabila seorang hamba menikah, maka sungguh orang itu telah telah meyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah setengah lainnya”. (Hadis ini dishahihkan lagi oleh Al Bani dalam Shahihut wat Tarhib)
Pada pernikahan, menjadi sarana membolehkan apa yang sebelumnya dilarang. Pria dan wanita cukup usia dilarang berdua-duaan, larangan itu otomatis gugur setelah adanya ijab kabul. Perzinaan mausk kategori dosa besar, namun hubungan bagi suami istri yang sudah syah justru membawa pahala dan keberkahan.
Dalam kehidupan pernikahan, episode naik dan turun menjadi sebuah kelaziman. Susah dan senang adalah hal wajar, dilalui sepasang suami istri dengan penuh kesabaran. Sedih bukan hal yang buruk, dan senang bukan berarti hal yang lebih mulia. Keduanya datang dan dipergilirkan, setiap orang wajib melewatinya.