"Piye, sudah ada calonmu?" suara ibu terdengar dari seberang "Kalau sudah ada, buruan diajak pulang, ibuk pengin kenal !"
"Doain saja buk" balas saya menyembunyikan rasa kesal.
Entahlah, pertanyaan satu ini selalu membuat perasaan tak menentu. Biasanya saya langsung mencari alasan, segera mengakhiri sambungan telepon.
"Sudah Buk, aku mau berangkat kerja, Assalamualaikum"
- Klik- . Percakapan terputus.
Komunikasi di akhir pekan selesai, menorehkan pilu di dada. Sejak merantau di Jakarta, rutin seminggu sekali menghubungi ibu. Namun setiap satu pertanyaan diajukan, ada rasa tak karuan menjalar di dada.
Saya tak habis pikir, mengapa ibu tak peduli perasaan anaknya. Meski tujuannya baik, agar anaknya tidak keenakkan melajang. Jujur, pertanyaan pasangan hidup begitu sensitive, kerap menerbitkan rasa galau.
“Apakah memang sudah tersedia jodoh, mendampingiku di muka bumi ini. Pada usia diambang kepala tiga, belum tampak tanda-tanda kedatangannya” benak ini menjerit.
Hati bertambah pilu, saat melihat atau mendengar teman sebaya menimang buah hati. Atau mendapat kabar, saudara di kampung yang lebih muda akan menikah.
“Slamet temanmu SD, istrinya lahiran minggu lalu. Adiknya juga mau dilamar, calonnya guru SMP” jelas ibu panjang lebar.
Kalimat yang tersiar, benar benar menohok dan menghunjam ulu hati. Meski diucapkan tanpa tekanan, namun tajam dibungkus sindiran. Tak ada balasan terlontar, saya hanya diam membisu.