Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Membangun Komunikasi Saat Antar Anak ke Sekolah

21 Juli 2016   05:47 Diperbarui: 21 Juli 2016   07:31 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sebelum pelajaran dimulai, anak-anak halal bihalal dengan guru (dokpri)

Saya adalah ayah dan pekerja mandiri, cukup rajin mengantar ke sekolah anak. Tahu nama kawan akrab, bahkan nama yang sedang masuk daftar black list pertemanan anak. Saya tak canggung menyapa, ketika berpapasan dengan sahabat karib.

"Hallo Thoriq" sapa saya berpapasan di gerbang sekolah usai anak turun dari motor

Mengantar ke sekolah, adalah prosesi sederhana namun sarat nilai.  Selama di perjalanan, anak bisa berkisah apa saja yang dialami. Saya menyiapkan telinga lebar-lebar, mendengar dan memberi masukan.

Belajar dari pengalaman masa lampau, saya bertekad mengoreksi keadaan. Hubungan antara orang tua dan saya, kala itu didominasi sikap kaku. Ayah sangat kami hormati, tidak terlalu dekat secara psikologis dengan anak-anaknya. Pun ibu sebagai tumpahan cerita, beliau memposisikan hanya sebagai pendengar saja.

Mungkin akibat keterbatasan ilmu pengasuhan, mereka kurang bisa luwes mengeskpresikan perasaan. Ayah seorang guru SD pelosok desa, setia mendampingi anaknya belajar pada malam hari. Interaksi yang berlangsung, nyaris seperti interaksi guru dan murid di sekolah. Ibu yang hanya lulusan Sekolah Dasar, kurang bisa memberi pertimbangan ketika saya berbagi kisah.

"Lha menurutmu bagaimana enaknya?" jawaban yang bertanya kerap keluar dari mulut ibu.

Tapi ada sisi positifnya !

Berangkat dari keluguan dan kesahajaan itulah, saya tumbuh menjadi anak tidak neko-neko. Ketika berseragam abu-abu putih, memilih tak bergabung dengan geng nongkrong di terminal. Pun saat teman sebangku mulai merokok, tak terbersit niat mengikuti jejak mereka.

Keadaan ekonomi keluarga pas-pasan, menjadi pertimbangan utama dalam mengambil sikap. Tumbuh rasa kasihan di benak, melihat orang tua banting tulang peras keringat. Hingga terbetik satu kalimat menginspirasi, "Kalau tidak bisa membantu orang tua, minimal jangan menyusahkan"

- Merekam kisah yang jauh terlewati , saya mengambil satu kesimpulan. Komunikasi antara  saya dan orang tua, cenderung terjadi satu arah. Terutama ayah banyak pengalaman hidup, merasa paling banyak tahu. Kami anak-anaknya yang masih bergantung, tak ada pilihan kecuali mengikuti kehendak-.

Ibarat bom waktu, akhirnya meledak !!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun