[caption id="attachment_354686" align="aligncenter" width="560" caption="dok.pribadi"][/caption]
Tepatlah apabila para praktisi parenting memberi wejangan perihal keteladanan dalam mendidik anak. Sebagus apapun nasehat ketika tidak diterapkan dalam tindakan pemberi nasehat seketika akan luntur dengan sendirinya. Seindah apapun bahasa terangkai akan menjadi kehilangan makna ketika pengucap jauh dari cerminan yang diucapkannya.Manusia adalah mahluk istimewa yang mustinya menjadikan pembelajaran demi pembelajaran sebagai kewajiban yang tak akan habis diteguk hingga akhir hayat, sebegitu pentingnya ilmu sehingga menjadi pemegang peranan yang penting dalam seluruh aspek kehidupan.
Malam itu jam 20.45 wib rutinitas yang diterapkan pada keluarga Hanafi pada si sulung Ahnaf yang berumur 5 tahun adalah gosok gigi, cuci tangan, dan cuci kaki sebelum naik tempat tidur.Ahnaf marah, ujung kedua mata saling mendekat seolah hendak menerkam, ujung alis mengerucut, ujung hidung terangkat mendekat ditengah kedua mata. Bibir bergetar menyimpan sekian ratus kalimat yang siap diberondongkan sekaligus untuk menyerbu.Sang Ayah diam merasa berada pada posisi salahtanpa alasan apapun, diam adalah pilihan yang bijak sekaligus tidakberpotensi memperuncing situasi. Pembelaan justru akan membuat masalah baru dan merembet ke masalah lain yang bukan substansi.Prosesi gosok gigi, cuci tangan, cuci kaki malam itu berjalan tidak seperti malam sebelumnya. Biasanya bernyanyi bersama dengan ceria, malam itu berbalik 180 derajad.
Cara mengambil pasta dan sikat gigi terkesan penuh emosi, dituangkan pasta yang melebihi kapasitas permukaan bulu sikat gigi sehingga mbleber jatuh ke ubin kamar mandi, pasta gigi ditutup sekenanya dalam kondisi tube belum sempurna menutup pasta didalamnya, dilempar ketempat semula tanpa memperhitungkan ketepatan sasaran, pasta bececeran ke ubin untuk kedua kalinya bersamaan dengan tutup yang terlepas dari tempatnya.Hanafi tetap terdiam dengan mulut lekat terkatup mencerna setiap detil kejadiandibetulkan posisi peralatan pada tempat sediakala agar tidak berantakkan. Ketika sikat gigi usai digunakan segera diraih untuk diletakkan dengan benar sebelum sikat gigi akan mengalami hal yang serupa dengan pasta gigi.
Diambilnya handuk yang tergantung di gantungan kamar mandi dengan cepatnya., dengan kain handuk yang terlilit menutupi bagian bawah tubuh keluarlah dari kamar mandi. Lelaki kecil berjalan dengan kaki menghentak keras, suara yang ditimbulkan dari pertemuan telapak kaki yang basah dan ubin menimbulkan ceplakan di lantai.Sekian ekspresi yang tergambar di raut wajah, kalimat yang keluar dari mulut, gerak tubuh yang keluar sungguh jelas untuk diambil kesimpulan. Ini adalah sebuah kemarahan yang besar dan tidak dapat diterimanya, penyebab kemarahan berhak untuk mendapatkan akibat tanpa perlawanan yang berarti.
Hanafi sang ayah tak menepati janji untuk mengajak membeli kebab kesukaannya di depan sebuah minimarket tak jauh dari tempat tinggal.Sebenarnya semua akan teratasi apabila Hanafi tidak bergabung dalam acara yang diadakan di kantor sore ini, beberapa rekan kerja memilih pamit tidak ikut acara dengan berbagai alasan yang akhirnya disetujui pimpinan di kantor.Sore jam 16;00 wib ada acara nonton bioskop yang diikuti seluruh karyawan (kecuali yang ijin) dan boss yang ada di kantor, lokasi gedung terletak di kawasan tengah kota Jakarta.Berhitung dengan waktu diperkirakan jam 18;00 wib bioskop selesai bisa segera pulang naik motor sekitar 30 menit sampai rumah. Namun prediksi tak sesuai kenyataan semua berantakkan tanpa antisipasi dengan baik, bioskop mulai jam 16;15 wib menit, durasi film sekitar 120 menit jadi selesai jam 18;15 wib, yang luput dari perhitungan waktu adalah sholat maghrib dan kemacetan ibukota pada saat jam pulang kerja. Usai acara nonton ada acara tambahan, boss ajak makan malam bersama di sebuah tempat makan dekat tempat nonton. Akhirnya pulang dari tempat acara berlangsung pukul 19;00 wib, dengan menerobos belantara kemacetan luar biasa khas ibukota perjalanan sampai rumah satu jam dua puluh menit.Sembari pulang melewati tukang kebab rupanya malam itu laris manis, booth tempat jualan serta peralatan terlihat sudah dirapikan berkemas hendak pulang.Lengkaplah kesalahan malam itu, Hanafi menghibur diri dengan memastikan semua bisa diatasi dengan bermanis manis dihadapan si kecil, tetapi semua teori atau rumus apapun yang bermain di kepala tak berlaku sudah.
Pelajaran berharga yang terpetik malam itu adalah jangan mudah berjanji sekalipun kepada anak kecil, karena janji sesungguhnya bertaruh dengan reputasi. Teringat sebuah tulisan dari sebuah majalah tentang parenting, janji kepada anak ibarat mengambil separuh jiwanya, menepati ibarat mengembalikan separuh jiwa yang diambil, mengingkari janji ibarat membiarkan jiwa itu menjadi tidak stabil karena yang terambil tidak segera dikembalikan pada tempat semula. Akibatnya bisa fatal, reputasi diri hancur berdampak pada ketidakpercayaan anak pada kita orangtuanya akan berlarut hingga waktu yang lama, betapa butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengembalikan kepercayaan anak terhadap kita orangtuanya atas “pengingkaran” yang telah dibuat.Satu hal lagi yang tercermati dengan seksama adalah kalimat kalimat yang dikeluarkan pada saat marah, persis tak beda jauh dengan kata kata yang terlontar pada saat Hanafi marah pada si Anak. Meluncur deras dari bibir mungilnya seolah memutar rekaman yang ada di otaknya, rekaman itu adalah kemarahan ayahnya adalah Hanafi.Dalam ketakberdayaan Hanafi bercermin jauh ke dalam diri sendiri, berteriak dalam diam, kemarahan si kecil tak reda begitu saja, di atas tempat tidur berlanjut juga ,seolah ingin menghabiskan sisa kekesalan itu biar habis tuntas.Tak ada kalimat yang keluar dari mulut sang ayah kecuali minta maaf dan minta maaf, rasa kesalnya perlahan menipis atau mungkin capek setelah mengeluarkan energy dalam bentuk luapan emosi.
Suasana berangsur hening, matanya yang bening perlahan sayu menuju masa transisi tidur.Nafasnya teratur, perlahan tertidurlah buah hati di ujung impas terbayar kekesalannya. Hanafi masih berbalut dengan perasaan bersalah perlahan memeluknya erat mendekap badan kecil si anak.Mengelus dengan tangan kiri mulai dari telapak kaki, punggung, rambut.Memandangi wajahnya dalam, peristiwa malam itu sangat menyentak seperti sebuah tamparan hebat dan bertubi, menyadarkan tentang sebuah kesalahan yang tidak disadari.Sikap marah yang pernah diperlihatkan pada sang anak, adalah sikap yang salah untuk alasan apapun, tak ada rumusnya bahwa untuk kebaikan anak harus dimarahi. Yang benar, ajak anak berdialog atas apa yang telah dilakukan, cari alasan sekaligus cari solusinya bersama buat kesepakatan lengkap dengan konsekwensi apabila terjadi pelangaran.Dialog dilakukan setelah colling down setelah semua tenang, dialog pada saat emosi justru akan menimbulkan masalah baru, merasa diri paling benar dan saling menyalahkan.
Malam itu Hanafi mengazamkan dalam hati, bahwa mulai detik itu semua musti berubah dan musti berubah.Bahwa anak kecil hakikatnya juga manusia, bedanya mereka lahir ke dunia lebih belakangan dari orang tuanya. Secara esensi kemanusiaan, anak anakmemiliki hak untuk dipenuhi janji yang pernah tercetus untuknya, memiliki hak untuk diteladani tentang tindakan dan perkataan yang baik. Untuk pada akhirnya dibawanya sampai dewasa sebagai jati diri menghadapi kehidupan di luar rumah.Malam semakain dalam perenungan tak memberi sedikitpun ruang pada rasa kantuk. Si Sulung terlihat hanyut dalam tidur pulasnya.Sang Ayah membisikkan rasa terima kasih, “ anakku kemarahanmu justru cara mengajari tetang sebuah peran keayahan”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI