Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerimis Menjelang Malam

11 Januari 2015   14:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:22 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14209352251871991697

[caption id="attachment_390014" align="aligncenter" width="333" caption="ilustrasi (dokpri)"][/caption]

Ekspresi cinta dan sayang tergambar secara otomatis, lewatkalimat yang terucap, terbahasakan melalui persembahan sikap yang akan lahir setiap waktu. Cinta melampaui ruang logika akan memenuhsesakkan rongga dada, mengantar pada totalitas pengorbanan, akan memperkenankan penyerahan diri padayang dicinta. TuhanMaha Penyayang dihadirkan segenap permasalahan, megandung satu tujuan, untuk “memaksa” hamba makin mendekat, agar cinta-NYAsemakin deras mengalir.

Usai maghrib tertunaikan, menunggu adzan isya berkumandang. Hanafi bercengkrama dengan kedua buah hati di ruang tengah, sang istri mengaji di dalam kamar.Ragil yang  dua tahun lebih, belum bisa dilepas tanpa pengawasan. Pernah satu kejadian waktu makan malam bersama,si kecil "ngelayap" tanpa seengetahuan kakak dan ayah bundanya. Naik ke atas meja tamuyang tingginya tak sampai satu meter, semua benda diatasnya jatuh luluh lantak. Taplak, buku jatuh berantakan, Vas bunga kaca hancur serpihanan berhamburan dilantai. Belajar dari kejadian itu maka sepakat, tak bisa meninggalkan kecilnya main sendirian.

Zahwa gadis kecil si bungsu kesayangan, sore itu riang berlarian bersama sang kakak. Ayahnya mengawasi sembari menyimak siaran berita ditelevisi. Setiap gerakan si sulung ditirukan adiknya dengan gerakan yang sama. Si kakak tertawa geli, melihat adiknya kerepotan mengikutinya.

Volume televisi dipasang medium agar tak menganggu ibunya mengaji, Hanafi semakin mendekati layar kaca berusaha menangkap isi berita. Karena canda tawa kedua anaknya semakin menjadi, si ayah meletakan telinga tak jauh dari speaker tivi. Hanafi mengerutkan kening, memicingkan mata, berusaha keras menyimak berita. Sesekali pandangannya mengarah kepada kedua anaknya, memastikan aman dan tak mengkawatirkan. Ketika berdua si kruciltertawa keras, "sstttt..." jari tengah Hanafi dirapatkan ke mulut. Saking seriusnya sang ayah mengikuti siaran di tv malam itu, dibiarkan kedua kakak beradik berpindah tempat main diteras.

Gelak tawa dari luar masih jelas tertangkap telinga, terdengar hentakan kaki kecil beradu lantai. Rupanyaberdua sedang lompat lompatan, sang kakak minta adiknya rebahan. Tubuh kecil Zahwa diseberangi kakaknya dan berhasil, keduanya bersorak gembira. Tiba giliran kakak yang rebahan, adik berusaha melewati tubuh kakaknya terdengar terjatuh.

Seketika pecah juga tangis si kecil, berjalan mendekati ayah di sisi meja televisi. Gadis mungil itu menempel ke tubuh ayahnya, dan segera digendong menenangkan tangisnya. Tangisnya semula perlahan, ketika hendak menumpahkan tangis yang lebih deras sepeti tercekat. Mulut sudah terbuka lebar, tak ada suara yang keluar.Beberapa detik berlalu tangis tak kujung berlanjut, sang ibu dari dalam kamar bergegas mendekati suami dan si kecil.

"Nak....kenapa" ibu mulai panik, mulut si kecil berubah membiru, tubuh kecil itu digoyang goyang, hidungnya ditiup untuk diberi nafas buatan. Tubuh lemah itumulai lunglai, Hanafi dan istri sangat ketakutan. Si sulung berdiri mematung di sebelah ayah ibunya. Orang tua mana yang sanggup melihat anaknya kesakitan, kepanikan nyata terjadi.

“ayo dibawa ke bidan Renysi ibu cepat berinisiatif.

Rumah sekaligus tempat praktek bu bidan, terpaut hanya 2 rumah dari tempat tinggal. Takmau kalah dengan sedetikpun waktu, Hanafi dan istri berlari sekuat tenaga. Kakaknya mengikuti dari belakang, mengikuti kedua orang tuanya Sang Ibu masih lengkap dengan mukena, menerobos pintu pagar Bu Bidan yang masih tertutup.

Nafas dan kalimat Hanafi berkejaran menjelaskan ke suster, istrinya gemetar tak kalah panik. Tubuh mungul itu terus digendong Hanafi, pun ketika suster minta sikecil ditaruh kasur Hanafi tetap memeganginya, seolah ingin mengalirkan seluruh energinya.

Sore itu gerimis belum sepenuhnya hadir, kaki kaki tanpa sandal membuat bekas telapak di pasir yang berceceran dijalanan.Bu Bidan datang dengan sigapnya, diambilah tabung oksigen kecil yang ada di pojok ruangan.

Si kecil yang terbaring di kasur, di lubang hidungnya dimasukki slang oksigen. Pandangan Hanafi tak ingin lewat sedikitpun, istrinya yang dilanda ketakutan duduk jongkok di bawah sudut ranjang. Kepala menunduk dalam,gerakan mulutnya komat kamit berdoa panjang.

Muka Zahwa perlahan memerah, gadis kecil itu siuman dan pecah tangisnya. Tubuhnya tampak lemas tak berdaya, keringatnya deras membasahi rambut, tangan, badan dan kakinya.

“Alhamdulillah Allohu akbarPekik Hanafi dalam hati, mata sang ayah berkaca. Istrinya yang semula jongkok, mendadak bangkit tak sabar melihat keajaiban yang terjadi. Di sela tangisnya, minta digendong ibunya dan minum ASI.

********

Peristiwa menjelang malam terjadi begitu tiba tiba, membawa kisah dan pengalaman baru bagi keluarga kecil itu. Kalau sedang teringat membuat sudut mata berembun, air bening mengalir membasahi pipi. Namun tanpa disadari peristiwa ini,bagai menyuntikkan energy yang lebih dan menumbuhkan "kekhusyuan" dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Menerbitkan gairah bagi Hanafi, dalam menyayangi istri dan anak anaknya.

Malampun semakin dewasa, gerimis sesaat urung menjadi hujan, di langit bintang mengerjap cahaya keemasan. Si kecil pulas bersama ibunya, sulungnya tidur bersama ayah di kamar yang berbeda. Pikiran Hanafi menyusuri langit langit, merenda wajah imut dan mungil itu. Sesekali menengok gadisnya dalam lelap, sambil dielus, dicium pipi dan kepalanya, ditelusuri tangan badan sampai kakinya.Merasakan hangat tubuh Zahwa.

Hingga hari bergantimata Hanafi tak kunjung terpejam, entah berapa kali bolak balik menyambangi bungsunya. Tiba tiba terbentuk tekad dalam sanubari, ingin belajar menjadi ayah yang selalu berusaha menjadi lebih baik. Tak sabar menanti hari bergeser pagi, memeluk erat gadis mungil itu, dan memandangi lebih dalam.

*****

Fajar menghantar datang hari baru, tangisan yang dinanti terdengar jua.“assalamualaikum”Sapa Hanafi, senyum tulus merekah sepenuh wajah. Zahwa menatap tanpa berkedip, mengulurkan dua tangan minta digendong. Berdua keluar pagar menyusuri jalanan, menikmati udara pagi yang baru, menikmatiembun yang belum lenyap disapu mentari.

Jejak jejak kaki di atas pasir tersiram rintik hujan semalam, masih jelas membekas, meninggalkan cerita tentang kekuatan cinta.Hangat sinar matahari menyapa kulit, menemani ayah dan anak memadu hati. Senyum bibir mungil itu terpancar kembali, Hanafi mengusap sudut mata yang masih saja basah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun